Skip to main content

Lampu Merah Nyawa Bocah Jalanan

Memegang secarik kertas atau koran, bocah-bocah itu berlarian menghampiri pengguna jalan yang berhenti sejenak karena lampu merah. Tersenyum tipis bocah ini menawarkan koran atau kertas yang disimpanya dalam map merah bertuliskan bantuan untuk panti asuhan kepada para pengendara mobil dan motor. "Minta uangnya pak. Beli koran pak, harganya seribu rupiah," begitu kata-kata Boy, salah satu bocah 3 tahun, saat menawarkan koran atau meminta sumbangan kepada para dermawan.

Entah bagaimana bocah malang ini bisa mendapatkan koran atau kertas daftar sumbangan panti asuhan itu???. Dengan percaya diri, setiap kali pergantian lampu rambu lalulintas, serentak mendatangi satu persatu para pengemudi itu. Demi mendapatkan uang, bocah ini tak lagi mempedulikan keselamatanya ketika berjalan ditengah ratusan kendaraan yang melintas di jalan itu. Apakah ini tindakan konyol tak berguna atau karena pikiran mereka yang masih polos sehingga uang seribu jauh lebih berharga daripada nyawanya. Dari segi usia yang rata-rata tiga sampai empat tahun, mereka masih belum mengerti jika jiwanya terancam ketika berada ditengah jalan menjajakan koran yang dipegangnya. Lalu siapa yang harus mengerti mereka???.


Keberadaan bocah disetiap lampu merah ini bagai misteri karena tak tahu dari mana mereka berasal dan siapa orang tuanya. Tak sedikit pengguna jalan yang merasa risih dengan keberadaan bocah-bocah yang tak henti-hentinya meminta uang. Namun, tak seorang pun yang berhak melarang mereka berada di setiap lampu merah dan persimpangan jalan. Karena mereka menggap persimpangan jalan dan lampu merah, itu sebagai istana yang memberinya makan dan minum.

Harus diakui bahwa mereka juga banting tulang demi sesuap nasi untuk kelangsungan hidupnya. Tak peduli panas, hujan, siang dan malam, mereka tetap setia dengan pekerjaanya. Keringat yang menyelimuti tubuhnya sebagai bukti kerja kerasnya seperti layaknya orang lain bekerja. Tapi sesungguhnya bocah-bocah ini masih belum pantas untuk mencari uang sendiri karena usianya. Mestinya mereka masih perlu mendapatkan kasih sayang dalam pelukan sang ibu.

Pemerintah menyebut bocah-bocah ini dengan nama anak jalanan. Sebutan itu karena mereka dianggap anak yang hanya dilahirkan lalu dilepas begitu saja. Kehadiran anak jalanan ini nampaknya tak diinginkan oleh pemerintah karena dianggap mengganggu ketertiban umum. Beberapa kali pemerintah melakukan gerakan penertiban anak jalanan, tapi tak pernah berhasil. Ratusan spanduk larangan memberi uang kepada anak jalanan pun terpampang disetiap persimpangan jalan.

Beberapa kali anak jalanan ini ditangkapi oleh petugas lalu diasingkan disebuah tempat penampungan untuk dibina. Tapi pembinaan itu sama sekali tak berarti bagi mereka karena tidak memberikan jaminan kehidupan yang layak. Sepertinya tempat pembinaan itu konotasi dari rumah tahanan yang lazimnya ditempati oleh orang-orang yang melanggar hukum. Tapi anak jalanan ini tidak sama sekali melakukan pelanggaran hukum ketika berada dijalan, melainkan mencari nafkah untuk menghidupi dirinya. Akibatnya tidak sedikit anak jalanan menjadi korban kekerasan.

Padahal undang-undang sudah menjamin bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.  Tapi nampaknya pemerintah telah menghianati dan mencampakan hak fakir miskin dan anak-anak terlantar yang sudah diatur oleh undang-undang tersebut. Miliaran rupiah uang milik anak jalanan yang mampir dikantong-kantong para koruptor.

Comments

Anonymous said…
kepedulian apa yang kamu harapkan...tulisanmu ini blum mngarah pada suatu tawaran yang lebih baik bagi kehidupan mereka,blum bisa mayoritas yang baca tulisanmu mngarah pada perspektif rasional n ilmiah sebagai solusinya.harapan aq semoga lebih mngarah pada jalan keluar (solusi) rasional n ilmiah pada tulisan2 mu berikutnya..."trus ke depan dgn sgala jejak kebaikan"

Popular posts from this blog

Seharusnya "Kopi" Jadi Simbol Perlawanan

Di sebuah kedai kopi petang itu. Suasana begitu riuh  tatkala pengujung di salah satu deretan meja kedai itu tertawa lepas setelah berujar. Mungkin mereka sedang berbagi pengalaman, entalah: yang pasti mereka sekelompok orang dengan perawakan mapan dan kekinian tampak bahagia dengan segelas kopi. Ada canda, ada tawa, ada pula diskusi, mungkin  juga mereka sedang membicarakan bisnis. Kedai Kopi, kini jadi salah satu pilihan untuk nongkrong-menghabiskan waktu dan uang bahkan tempat para pembual.

Suku Betawi Yang Tersingkir dari Ibu Kota

Jakarta, lebih dekat dengan suku Betawi, karena mereka mengkalim dirinya sebagai suku asli. Sekitar pukul 07 pagi, saya bertemu dengan salah seorang tukang ojek yang mangkal di daerah Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, tidak jauh dari kantor TEMPO. Mansyur, nama tukang ojek ini dan mengaku orang Betawi tulen. Pagi itu, saya ditugaskan untuk meliput acara Menteri Kelautan dan Perikanan, oleh Redaktur Ekonomi dan Bisnis, harian TEMPO. Karena saya baru di Jakarta, tentu saya bingung dimana alamat kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan tersebut.

Kolema, Holiwood Bau-Bau

Jika anda belum pernah melihat langsung Landamark Holliwood di Los Angeles, Amerika Seri, anda tak perlau jauh-jauh ke sana. Sebab, Landamark bergengsi dunia itu, anda bisa temui di Kota Baubau. Tulisan Baubau, yang memanjang di atas Bukit Kolema, benar-benar menyerupai tulisan Holliwood di Los Angeles-Amerika. Bukit Kolema terletak sekitar lima kilo meter arah Timur kota Bauabu dengan ketinggian sekitar  lebih dari  seratisan meter dari permukaan laut. Di puncak bukit itu dibangun pelataran gantung  (taman) dan satu tembok bertuliskan ”Baubau” sepanjang 30 meter dan tinggi 15 meter. Tulisan Baubau, terlihat jelas dari kejauhan, khusnya dilihat ketika anda berada di tengah laut. Dengan letak yang menghadap ke barat seakan menyambut kedatangan anda di kota Baubau yang semerbak Dahulu, taman gantung bukit Kolema hanya dikenal hanya beruap jurang yang curam dan ditumbuhi semak belukar, serta terkenal angker. Di lokasi ini juga sering terjadi kecelakaan yang diduga disebab