Skip to main content

Posts

Showing posts from May, 2014

Baubau Sebagai Tempat Berlindung

Lubang tua masih terlihat jelas di sekitar dinding-dinding Benteng Keraton Baubau (Wolio) . Tak ada satu pun dinding yang amruk. Hanya saja di beberapa bagian, dindingnya tertutupi oleh belukar dan rerumputan lain. Tapi pada kebanyakan dinding lainnya masih berdiri kokoh. Tembok pertahanan masa lalu ini benar-benar sangat terawat, apalagi dinding yang berada di sekitar pemukiman. Benteng Keraton Buton ini memiliki luas mencapai 22,8 hektar, dan panjangnya mencapai 2.740 meter dengan ketebalan 2 meter dan tinggi 2 sampai 8 meter. Benteng ini mendapat rekor MURI, karena menjadi salah satu benteng yang terluas di dunia. Di dalam kawasan benteng terdapat 18 menara atau sudut benteng, memiliki 13 pintu gerbang, sebanyak 640 rumah penduduk (rumah panggung yang arsitekturnya masih asli warisan tempo dulu), kuburan para raja, dan beberapa peninggalan sejarah lainnya. Benteng yang dibangun oleh Sultan Buton ke-4, Sultan La Elangi ini (alias Sultan Dayanu Ikhsanuddin (1578-1615), telah

Menggayang Keluarga Sendiri

Gaya bertuturnya sudah terbatah-batah. Bangsawan Karaeng Lira, namanya. Ia seorang pemimpin dan penggerak massa ketika menggayang rumah beberapa pemimpin organisasi barisan tani indoneisa (BTI), dan pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI).Tidak hanya menggayang, saat itu sekitar 1975, ia juga menyiksa, mengawasi langsung mereka (BTI/PKI) dalam beberapa pekerjaan pemerintah, seperti pengerjaan lapangan sepak bola, pembangunan irigasi. Saat itu diistilakan kerja pakasa, kerja tanpa upah, dan makan. Bahkan ia mengkalain dirinya satu-satunya seorang pemberani yang berhasil menumpas BTI dan PKI. Karena semangat dan keberaniannya inilah, dia diangkat sebagai Kepala Desa Bontolanra   (1975), Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar, oleh Bupati   ke tiga Letnan Kolonel Polisi M Said Passang. Tapi, pada masa pemerintahan Makkatang Daeng Sibali, Bupati ke dua, ia menjadi Wakil Kepala Desa Aeng Batubatu, begitu ia menamatkan diri di SMA pada 1962.

Festival Keraton Nusantara Momen Penguatan Eksistensi

Para raja dan sultan duduk berderet di bagian paling depan di Venue Utama Stadion Betoambari Kota Bau Bau, Sulawesi Tenggara pada Ahad, 2 September lalu. Dengan mengenakan pakaian adat ala kerajaan masing-masing tampak berwibawa dihadapan ribuan masyarakat dari berbagai daerah. Baju tak berkerah itu memanjang ke atas, menutupi seluruh leher tanpa dasi. Ada yang menggunakan peci dengan berbagai motif sebagai penutup kepala, ada juga yang menggunakan surban. Mereka adalah para raja dan sultan se-nusantara yang hadir dalam acara festival keraton nusantara (FKN VIII). Masing-masing raja/sultan didampingi oleh permaisurinya yang juga mengenakan pakaian kerajaan. Kegiatan Pembukaan diawali dengan Tarian khas Kesultanan Buton yaitu Kambero Malimua. Tari ini diperagakan oleh pasangan muda – mudi atau pelajar menengah atas.   Tari yang diikuti alunan musik tradisional keraton itu sebagai tanda penghormatan terhadap para raja dan sultan.