Skip to main content

Sepenggal Kemunafikan Dalam Bingkai Jurnalisme


Jurnalis mungkin boleh dianggap sebagai dewa, pahlawan pembela kebenaran, dan juga sebaliknya sebagai pecundang. Dianggap sebagai dewa jika jurnalis selalu melebur, dan atau dekat dengan kejujuran, bersifat independent, dan yang terpenting menjunjung tinggi kode etik jurnalistik dalam menyajikan informasi. Independensi menjadi poin utama bagi jurnalis karena menyangkut kepercayaan publik. Namun, fakta berkata lain karena sejumlah oknum jurnalis lupa akan kitab suci jurnalisme. Perilaku seperti ini merupakan bentuk penghianatan terhadap publik karena meleburkan kejujuran, kemunafikan, dan kebohongan hanya untuk mengejar keuntungan semata.

Kira-kira sepekan setelah ambruknya tembok pembatas Villa The Mutiara, yang menewaskan 8 orang warga, Minggu, 4 Desember 2011lalu, juga menjadi hari malapetaka dalam dunia jurnalisme. Hari tanpa sinar mentari, suasana sedih mulai menyelimuti keluarga yang tertimpa bencana alam. Namun, perisitiwa ini tak murni karena faktor cuaca ekstrim yang menyebabkan tembok tersebut ambruk. Tetapi, keserakahan manusia yang tidak mengedepankan kebenaran ketika langit mulai berubah warna menjadi abu-abu tua. Itu menandakan musim penghujan telah tiba, dan seharusnya tembok pembatas itu dibangun sesuai dengan spesifikasi yang semestinya atau konstruksinya tak bisa dirubah.

Berbagai spekulasi dalam insiden datang silih berganti membawa ribuan analisis. Ahli konstruksi tak ingin menyalahkan siapa yang mengerjakan proyek ini, tapi dia harus jujur bahwa tembok tersebut ambruk bukan karena faktor alam, melainkan kesalahan konstruksi. Cuaca ektrim hanya sebagai faktor pendukung hilangnya 8 nyawa manusia yang belum tentu pergi karena takdrinya. Sangat disayangkan, kebenaran harus direlakan sirna bersama kemunafikan jurnalis yang mengubur nyawa manusia dalam-dalam. Publik tak tahu lagi siapa yang salah dalam peristiwa itu karena tak ada lagi coretan awak media yang bisa dibaca.

Kritikan lantang jurnalis yang tuangkan dalam bentuk tulisan kini tak terdengar lagi, ikut tertimbun puing-puing bangunan penjemput ajal. Sang predator ini telah menjadi bangkai hingga bau busuknya tercium kemana-mana, termasuk Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Makassar, berang dengan aroma tak sedap itu.  AJI seperti tak nyaman dengan bau busuk ini hingga memutusakan untuk menginvestigasi penyebab matinya mereka. Memang AJI belum berhasil melakukan investigasinya, tetapi kabar kemunafikan telah tercium. Bos The Mutiara berkicau dan menari-nari hinggap dari satu pohon media ke media lainnya. "Saya kira kasus ini sudah berhenti, kan saya sudah menyumbang uang ke keluarga korban, termasuk wartawan," begitu keciauannya.

Nyanyian ini cukup sakit, sangat mengiris jiwa. Padahal, nyawa waga yang tewas dan kebenaran yang senagaja dikubur tak sebanding dengan lemabaran rupiah haram yang mengalir kedarah para jurnalis yang menikmatinya. Begitu sebaliknya, jurnalis penikmat harta The Mutiara tak kalah kejamnya karena mengambil keuntungan dalam kesedihan.

 "Rasa bersalah tak perlu dihakimi dengan mengundurkan diri dari tempat kita bekerja, tapi hanya dengan memperbaiki niat agar kejujuran membela kenenaran menjadi kiblat kita sebagai jurnalis."

SAHRUL

  





     


Comments

Popular posts from this blog

Seharusnya "Kopi" Jadi Simbol Perlawanan

Di sebuah kedai kopi petang itu. Suasana begitu riuh  tatkala pengujung di salah satu deretan meja kedai itu tertawa lepas setelah berujar. Mungkin mereka sedang berbagi pengalaman, entalah: yang pasti mereka sekelompok orang dengan perawakan mapan dan kekinian tampak bahagia dengan segelas kopi. Ada canda, ada tawa, ada pula diskusi, mungkin  juga mereka sedang membicarakan bisnis. Kedai Kopi, kini jadi salah satu pilihan untuk nongkrong-menghabiskan waktu dan uang bahkan tempat para pembual.

Suku Betawi Yang Tersingkir dari Ibu Kota

Jakarta, lebih dekat dengan suku Betawi, karena mereka mengkalim dirinya sebagai suku asli. Sekitar pukul 07 pagi, saya bertemu dengan salah seorang tukang ojek yang mangkal di daerah Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, tidak jauh dari kantor TEMPO. Mansyur, nama tukang ojek ini dan mengaku orang Betawi tulen. Pagi itu, saya ditugaskan untuk meliput acara Menteri Kelautan dan Perikanan, oleh Redaktur Ekonomi dan Bisnis, harian TEMPO. Karena saya baru di Jakarta, tentu saya bingung dimana alamat kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan tersebut.

Kolema, Holiwood Bau-Bau

Jika anda belum pernah melihat langsung Landamark Holliwood di Los Angeles, Amerika Seri, anda tak perlau jauh-jauh ke sana. Sebab, Landamark bergengsi dunia itu, anda bisa temui di Kota Baubau. Tulisan Baubau, yang memanjang di atas Bukit Kolema, benar-benar menyerupai tulisan Holliwood di Los Angeles-Amerika. Bukit Kolema terletak sekitar lima kilo meter arah Timur kota Bauabu dengan ketinggian sekitar  lebih dari  seratisan meter dari permukaan laut. Di puncak bukit itu dibangun pelataran gantung  (taman) dan satu tembok bertuliskan ”Baubau” sepanjang 30 meter dan tinggi 15 meter. Tulisan Baubau, terlihat jelas dari kejauhan, khusnya dilihat ketika anda berada di tengah laut. Dengan letak yang menghadap ke barat seakan menyambut kedatangan anda di kota Baubau yang semerbak Dahulu, taman gantung bukit Kolema hanya dikenal hanya beruap jurang yang curam dan ditumbuhi semak belukar, serta terkenal angker. Di lokasi ini juga sering terjadi kecelakaan yang diduga disebab