Di sebuah kedai kopi petang itu. Suasana begitu riuh tatkala pengujung di salah satu deretan meja kedai itu tertawa lepas setelah berujar. Mungkin mereka sedang berbagi pengalaman, entalah: yang pasti mereka sekelompok orang dengan perawakan mapan dan kekinian tampak bahagia dengan segelas kopi. Ada canda, ada tawa, ada pula diskusi, mungkin juga mereka sedang membicarakan bisnis. Kedai Kopi, kini jadi salah satu pilihan untuk nongkrong-menghabiskan waktu dan uang bahkan tempat para pembual.
Saya dan beberapa kawan di sebuah meja di kedai itu mendiskusikan banyak hal. Tak ada tema permanen sebagai pembatas diskusi dalam sekumpulan kaum intelektual ini. Diskusi mengalir dengan begitu dinamis. Satu persatu nama filusuf dicatut sebagai referensi ilmiah dalam diskursus itu. Bersilang pendapat tak mengurangi antusias dalam arena ini-sungguh reaksi kopi membuat kita selalu toleran dalam keberagaman asa. Memang sedikit miris, tak ada solusi dalam diskusi ini melaikan hanya sekedar pencintraan intelektual oleh sebagian mahasiswa. Selebihnya, kedai kopi tidak lebih dari sekedar media pengakuan status sosial (kelompok borjuis).
Kopi, sesungguhnya dapat menginspirasi kita untuk memproduksi gagasan dalam merubah tatanan sosial yang pragmatis. Bahkan kopi menjadi entitas penting bagi kelompok intelektual untuk lebih aktif dan progresif dalam mengukir peradaban baru yang beradab. John Adams, Presiden ke dua Amerika mengorbankan kecintaanya terhadap teh dan mulai belajar menikmati kopi. Ia meyakini sensasi kopi dapat menguatkan kapasitas intelektual dan juga menjadi simbol perlawanan. Mark Pendergrast menulis dalam bukunya Uncommon Grounds : The History of Coffee and How It Transformed Our World, bahwa kedai kopi menjadi tempat lahirnya ide-ide revolusioner.
Bahkan Pendergrast menemukan surat dari John Adams yang ditujuka kepada Abigail sang istri presiden dengan menyatakan bahwa dia akan belajar untuk menikmati kopi karena minum teh dianggap sebagai tindakan yang tidak patriotik. Kedai kopi pada era 1800 san hingga pertengahan abad ke 20 dijadikan sebagai sarang seniman, mahasiswa, jurnalis, politisi dan pemikir. Kopi bukan sekedar suguhan yang mengisi waktu kosong, tapi kopi merupakan suguhan yang mengundang sejuta sensasi dan gagasan. Sensasi kopi dapat membuka ruang kesadaran kritis terhadap situasi sosial dan kekuasaan yang mencekik. Revolusi industri Prancis pecah tatkala buruh mencapai puncak kesadaran kritis terhadap ketidak adilan sang penguasa.
Hari ini menjadi ironi, kedai kopi dianggap sebagai tempat untuk mempertontonkan strata sosial, ruang beronani bagi aktivis pragmatis. Tidak sedikit aktivisi berkonspirasi dengan pemilik modal dan politisi dalam upaya menggelapkan keadilan bahkan mengabur hak-hak rakyat. Budaya transaksional mengotori filosofi asal muasal munculnya kedai kopi di masa lalu. Kebobrokan bertebaran dalam ruang publik tanpa kontrol dan protes. Peradaban kini tak seharusnya mengikis budaya kritis aktivis mahasiswa, seniman, jurnalis, politisi dan kaum intelektual. Sebab, hari ini adalah cermin dari masa lalu saat kita baru memulainya. Kedai kopi harus tetap dimaknai sebagai tempat berkumpulnya kelompok revolusioner sebagai alat kontrol kekuasaan.
Sebab kedai kopi dapat membantu menciptakan tempat-tempat egaliter, berkumpul dan melawan penindasan. Pandergrast mengatakan Revolusi Perancis dan Revolusi Amerika pun direncanakan di kedai kopi. Konon, istilah “coffee break” lahir di era ini. Datang dari para pekerja pabrik yang mendapatkan bantuan energi dari kopi. Kawan, kita bisa memulainya ditengah kondisi bangsa yang karut marut ini.
"Sebab sensasi kopi itu tak bisa direkayasa, seperti halnya kita melawan tatakala keadilan itu bukan milik rakyat lagi" Sahrul
Comments