Pernakah kalian melihat sarang burung tampuo (tempua)???. Begitulah model rambut La Ege, aktifis Jaringan kerja kebudayaan rakyat (Jaker) Sulawesi Selatan. Pagi tadi (Jumat 13 Desember 2012), saya ketemu dia di Pom Bensin Tamalanrea, tepatnya depan Universitas Hasanuddin Makassar. Ia sedang mengisi bensin motor Vespanya yang tidak kalah uniknya dengan rambutnya.
Rambut kribonya yang semberawut, membuatnya tampil percaya diri. Saya menghampirinya lalu bertanya. "Kamu merasa nyaman dengan rambutmu?. Apa motifasimu?. Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Unhas ini tersenyum, sambil mengatakan, saya memberontak dengan rambutku, saya melawan penindasan dengan rambut saya. Model perlawanan terhadap kekuasaan yang menindas, yang tidak berpihak kepada rakyat, tidak hanya dengan gerakan demonstrasi, tapi dengan style (penampilan) kita. Perlawanan yang dilakukan dengan penampilan, dia menjeskan, bukan hanya komunitas JAKER, tapi masih banyak komunitas lainnya, seperti Anarko.
Memang, jika sepintas melihat penampilan La Ege, pasti beranggapan jorok. Tapi, jangan langsung menvonsinya seperti itu. Dia memelihara rambutnya tidak asal-asalan, tapi memiliki nilai tertentu. Dengan rambutnya yang tak beraturan, ia banyak memiliki relasi di kelompok masyarakat. Bahkan ia mendampingi masyarakat yang dirampas haknya oleh pemiliki modal, termasuk pemerintah. Tentu kelompok masyarakat yang ia dampingi adalah masyarakat marginal, seperti pedagang kaki lima, anak jalanan, dan masyakat miskin kota.
La Ege, dalam berjuang tidak setengah hati, bahkan dia secara tegas menyatakan tidak percaya dengan penerapan hukum di negeri kita ini. Alasannya, penegakan hukum tidak berpihak kepada masyarakat kecil. "Yang salah dibenarkan, dan yang benar dipenjarakan," katanya. Karena itu, ia memutuskan, kemana pun dia pergi tidak pernah mengenakan helm. Selain alasan tidak percaya aturan, juga karena rambutnya yang bentuknya seperti gunung sehingga helm tidak bisa masuk. "Kalau polisi mau tangkap saya, silahkan saja," ujarnya.
Sepanjang jalan Perintis Kemerdekaan, La Ege tak hentinya mengangkat tangannya karena pedagang asongan di pinggir jalan menyapanya. Kami berpisah di pertigaan Antang. "Saya mau ke Antang temui kawan-kawan," katanya.
SAHRUL
Comments