Skip to main content

Kebijakan Kompolnas dan Polri Masih Diskriminatif




“Negara tidak memerintahkan polisi menembaki rakyat, tapi justru sebaliknya. Keberadaan polisi untuk memberi rasa aman kepada semua masyarakat yakni menjadi pengayom. Tapi faktanya tugas polisi tidak dijalankan seperti yang diamatkan oleh negara. Tindakan kesewenang-wenagan polisi seperti tugas pokok yang harus dijalankan. Sampai kapan kenyataan ini berakhir???”

Penegakan hukum di negeri ini masih menjadi topik yang diperdebatkan oleh semua pihak. Lembaga penegak hukum pun masih belum mampu memberikan keadilan dan jaminan keamanan tehadap masyarakat. Yang paling parahnya, tidak sedikit institusi penegak hukum yang turut memper jual belikan hukum kepada kelompok elit.

Diskusi saya dengan salah satu pakar hukum pidana dari Universitas Muslim Indonesia (UMI) Profesor Hambali Thalib mengulas soal kebijakan Kepolisian RI dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dalam hal penegakan hukum. Dalam diskusi ini membahas adanya ketimpangan dalam pelaksanaan tanggung jawab lembaga penegak hukum. Kali ini yang dibahas adalah institusi resmi negara yakni Kepolisian RI dan Kompolnas, yang juga salah satu lembaga yang dibentuk oleh negara untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja kepolisian demi penegakan hukum. Namun keduanya belum menunjukan kinerja yang kridibel karena kebijakannya masih bersifat dikskriminatif terhadap rakyat.


Kebijakan dari kedua lembaga ini masih ada yang belum memberikan jaminan keamanan terhadap masyarakat secara optimal. Hal ini disebabkan karena penguatan kerja sama dalam upaya penegakan hukum antara Kompolnas dan Polri, sebagian tidak sejalan. Misalnya keputusan Kompolnas mengenai tindakan pelanggaran hukum, seperti pelanggaran disiplin anggota polisi, masih ada yang belum dilaksanakan.

Seperti kasus penembakan Dosen Universitas Al.Asyariah Mandar (Unasman), Sofyan S, tewas ditangan oknum anggota Polres Polewasli Mandar, Sulawesi Barat. Tindakan kekerasan polisi ini juga terjadi di beberapa daerah lain, misalnya kasus penembakan warga di Kabupaten Jeneponto, Maros, Selayar, dan Makassar. Peristiwa penembakan di Jeneponto, Daeng Talla 44 tahun tewas terkena tembakan di belakang telingan kanannya hingga menembusi otak kecilnya, dan tiga warga lainya sekarat. Di Maros, Ahad, yang diduga sebagai pemimpin aliran sesat juga tewas ditembak polisi, dan Kartini Indah Hajrah,tewas ditangan suaminya anggota Polsek Passimarunnu, Kepulauan Selayar.

Tindakan brutal polisi ini, mestinya direspon secara tegas oleh Kompolnas. Setidaknya melakukan evaluasi apakah keputusan melepaskan tembakan tersebut sudah sesuai dengan prosedur atau tidak. Namun, lembaga yang diharapkan dapat mengawasi dan mengevaluasi kinerja kepolisian ini belum juga menunjukan nilai-nilai keadilan. Masyarakat semakin terancam dan semakin sulit untuk menikmati keadilan.

Bercermin dari fakta tersebut, Hambali menjelaskan, bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum sudah berkurang. Akibatnya, masyarakat terdorong untuk melakukan tindakan represif dalam menghadapi persoalan, bahkan sudah berani melawan polisi. Penyebabnya kata dia, masyarakat tidak percaya lagi terhadap polisi dalam menegakan hukum. Namun, informasi soal dugaan kekerasan yang dilakukan oleh oknum polisi ini, tidak cepat direspon oleh Kompolnas. "Kompolnas terkesan terlambat menerima informasi , bahkan tidak sama sekali diketahui," katanya.

Padahal, keberadaan Kompolnas merupakan sebuah paradigma baru dalam hal pengawasan kerja kepolisian untuk memberikan perubahan. Tapi keberadaanya belum memperlihatkan hasil yang memuaskan dalam melakukan pengawasan terhadap kinerja polisi. Hal ini terjadi karena Kompolnas masih belum mampu menjangkau informasi adanya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan oleh polisi. Selain tindakan kekerasan, masih banyak pelanggaran lainya yang juga melibatkan oknum polisi. Mislanya polisi yang terlibat dalam kasus narkoba, penganiyaan. "Mungkinkah Kompolnas membentuk struktur perwakilan di setiap Provinsi untuk mengawasi secara langsung kerja polisi di setiap Polda di Indonesia???.

Jika pengembangan struktur ini dianggap perlu demi penegakan hukum, Kompolnas harus memberikan pertimbangan kepada pemerintah soal pengemabangan struktur tersebut. Sebab, keberadaan Kompolnas ini diharapkan lebih cermat dalam mengawasi kinerja kepolisian sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Saat ini, polisi dalam menjalankan tugasnya penuh dengan berbagai kritikan hanya karena persoalan penegakan hukum yang masih dinilai belum adil. Persoalan seperti ini diharapakan dapat diselesaikan oleh Kompolnas, karena dasar kebijakan untuk memberi hasil evaluasi terhadap kerja kepolisian adalah Kompolnas. “Hubungan kerja kedauanya kelihatan tidak nyambung".

Agar lebih objektif pembahasan ini, saya juga menanyakan hal ini kepada anggota Komisi Kepolisian Nasional. Anggota Komisi Kepolisian Nasional Profesor Laode Husain, mengakui bahwa masih mengalami beberapa kendala dalam hal melaksanakan tugas pengawasan dan monitoring terhadap kerja kepolisian. Misalnya belum jelasnya regulasi yang mengatur kewenangan Kompolnas dalam melakukan evaluasi terhadap kepolisian. Kompolnas masih terbatas menindak lanjuti aduan masyarakat karena regulasinya juga tidak jelas.

Misalnya Peraturan Presiden Nomor 17 tahun 2005 tentang Kompolnas. Isi peraturan ini, kewenagan Kompolnas masih terbatas, yakni tidak bisa mengikuti gelar perkara, pemeriksaan anggota, sidang disiplin. Keterbatasan ini, menjadi salah satu alasan tidak optimalnya dalam menjalankan tugas. Karena itu, dengan adanya Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2011 tentang Kompolnas yang disahkan pada 4 Maret 2011 lalu, Kompolnas diberi kewenangan untuk ikut sidang komisi kode etik, gelar perkara, pemeriksaan anggota, dan sidang disiplin. Dalam aturan ini kelihatanya lebih tegas dan memberikan keluasan kewenangan. Sebab, jika ada hasil pemeriksaan yang belum memuaskan, Kompolnas bisa meminta pemeriksaan ulang atau tambahan atas pemeriksaan satuan pengawas internal.

Peraturan ini sudah memberikan kekuatan dalam melaksanakan pengawasan terhadap kepolisian. Jadi tidak ada lagi alasan semacam resisten dalam pelaksanaan wewenang terhadap aduan masyarakat. Perihal penamabahan struktur perwakilan Kompolnas di Provinsi, nampaknya Kompolnas belaum menjadikan itu sebagai agenda yang harus dibahas.

Dari pihak Kepolisian juga sering kali bertutur bahwa dalam melaksanakan tugas selalu mengedepankan langkah pre entiv, pereventif, dan penegakan hukum. Dalam pelaksanaan penegakan hukum ini lebih pada upaya pendekatan persuasif terhdap masyarakat. Karena itu, prinsip kerja kepolisian adalah memberi dan menjamin perlindungan hukum, keamanan, dan secara umum mengayomi masyakat. Singkatnya, kapan saja dan dimana saja polisi siap melayani masyakat, tanpa terkecuali.

Namun nyanyian penegakan hukum yang digembar gemborkan kepolisian ini masih sebatas wacana. Karena beberapa kasus kekerasan yang melibatkan anggota polisi tidak diproses secara transparan. Kebijakan dari pimpinan terkesan masih melindungi anggotanya . Namun untuk menutupi kesan melindungi, anggota polisi yang melakukan penembakan diproses dengan pemeriksaan pelanggaran disiplin.

Sebagai penutup, kita sebagai warga negara tidak harus membeli hukum untuk merasakan keadailan. Hukum itu bukan milik mereka yang berkuasa atau pengusaha, politisi yang berduit banyak. Hukum berlaku tidak hanya kepada masyarakat tak berdaya (Kecil, dan Miskin), tapi seluruh warga negara di negeri ini. “Saya harap kepada semua pihak untuk memberikan masukan dalam hal penegakan hukum”.

Comments

Popular posts from this blog

Seharusnya "Kopi" Jadi Simbol Perlawanan

Di sebuah kedai kopi petang itu. Suasana begitu riuh  tatkala pengujung di salah satu deretan meja kedai itu tertawa lepas setelah berujar. Mungkin mereka sedang berbagi pengalaman, entalah: yang pasti mereka sekelompok orang dengan perawakan mapan dan kekinian tampak bahagia dengan segelas kopi. Ada canda, ada tawa, ada pula diskusi, mungkin  juga mereka sedang membicarakan bisnis. Kedai Kopi, kini jadi salah satu pilihan untuk nongkrong-menghabiskan waktu dan uang bahkan tempat para pembual.

Suku Betawi Yang Tersingkir dari Ibu Kota

Jakarta, lebih dekat dengan suku Betawi, karena mereka mengkalim dirinya sebagai suku asli. Sekitar pukul 07 pagi, saya bertemu dengan salah seorang tukang ojek yang mangkal di daerah Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, tidak jauh dari kantor TEMPO. Mansyur, nama tukang ojek ini dan mengaku orang Betawi tulen. Pagi itu, saya ditugaskan untuk meliput acara Menteri Kelautan dan Perikanan, oleh Redaktur Ekonomi dan Bisnis, harian TEMPO. Karena saya baru di Jakarta, tentu saya bingung dimana alamat kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan tersebut.

Kolema, Holiwood Bau-Bau

Jika anda belum pernah melihat langsung Landamark Holliwood di Los Angeles, Amerika Seri, anda tak perlau jauh-jauh ke sana. Sebab, Landamark bergengsi dunia itu, anda bisa temui di Kota Baubau. Tulisan Baubau, yang memanjang di atas Bukit Kolema, benar-benar menyerupai tulisan Holliwood di Los Angeles-Amerika. Bukit Kolema terletak sekitar lima kilo meter arah Timur kota Bauabu dengan ketinggian sekitar  lebih dari  seratisan meter dari permukaan laut. Di puncak bukit itu dibangun pelataran gantung  (taman) dan satu tembok bertuliskan ”Baubau” sepanjang 30 meter dan tinggi 15 meter. Tulisan Baubau, terlihat jelas dari kejauhan, khusnya dilihat ketika anda berada di tengah laut. Dengan letak yang menghadap ke barat seakan menyambut kedatangan anda di kota Baubau yang semerbak Dahulu, taman gantung bukit Kolema hanya dikenal hanya beruap jurang yang curam dan ditumbuhi semak belukar, serta terkenal angker. Di lokasi ini juga sering terjadi kecelakaan yang diduga disebab