Skip to main content

Sajak Ini Untuk Jokowi

tulisan ini menjadi hak Penaaktual.com

Di hadapan yang mulia ia melantunkan doa, bait-bait itu menyusuri hening, menerobos dinding jiwa nan gundah. Indonesia merdeka-72 tahun bumi pertiwi lepas dari belenggu kolonialisme adalah seuntai kalimat dalam doa suci Tifatul Sembiring memecah gendang telinga yang mulia Presiden, menyusuri relung hati yang sedang menyapa Tuhan, lalu gaduh. Tifatul tetap melantun-memohon berkah sang khalik agar Indonesia baik-baik saja, juga permohonan agar Jokowi bisa segera gemuk dari postur yang kurus. Adalah lantunan doa yang mungkin membingungkan Tuhan karena Dia maha mengetahui atas ketulusan hambanya dalam memohon berkah. Allah maha besar, kepadaMu lah sumber kebenaran, engkau pulah lah yang mengetahui doa Tifatul yang mungkin ia sedang menghina Jokowi berbalut doa suci itu. Ampunilah dosanya jika hatinya menyimpan kebencian terhadap Presiden Jokowi. Dan ini adalah dugaan  hinaan kedua setelah Muhammad Syafii.

Di hadapan hadirin-yang terhormat juga pembantu-pembantu sang Presiden, doa itu mengalun jauh hingga separuh diantara mereka tak mengerti. Entah mengapa sajak ini disisipkan dalam kata-kata Tuhan nan suci dan sakral itu. Ke dua tangan Tifatul yang menapak langit meraih mujizat sang Ilahi dengan sederet kata-kata suci bertabur kemunafikan. Di tengah sengit lantunan doa itu menggema hingga membisik puluhan juta telinga di Bumi Nusantara ini-lalu menyelipkan kebencian itu ke dalam tetesan hujan yang masuk dan mengalir ke dalam perut Bumi. Tapi...aroma busuknya tetap tercium hingga mengundang protes, tapi...ada juga yang tersenyum bahagia. Mungkin mereka sesama bangsa Iblis yang menyimpan kebencian abadi terhadap Manusia. Dalam doa, kita tak boleh cemas, tapi sebenarnya ia sedang cemas di tengah jejak langkah sang Presiden yang kian dicintai rakyatnya.

Ia ibarat orang yang mencintai kebencian hinga sajak-sajak itu menutup mata hati dengan logika yang tak lazim. Tifatul mengirim doa tidak dengan hati yang khusyu melainkan ia mengirimnya dengan kereta langit ibaratnya. Yang mulia berpostur kurus itu kata sang pemanjat doa, memungut sajak yang lumat dalam sedu-sedan itu-menyimpanya dengan tulus tak bergeming. Bahkan, sang Presiden melempar senyum tulus kepada hadirin sidang istimewa itu penuh cinta meskipun ia mendengar sentilan doa itu. Ia sabar saja. Sebab...seorang pemimpin harus tetap iklas tatakala pelangi nan indah itu pergi meninggalkan pandangan. Begitulah warna kehidupan Manusia di atas Bumi ini. Warna-warna pelangi itu tak semuanya baik-begitu juga dengan perawakan manusia yang mungkin terlihat baik tatkala ia pandai melantunkan ayat-ayat suci Tuhan.

Sejatinya, momentum Agustus menjadi mimbar bersama menyatukan gagasan untuk membawa Republik ini menemukan makana kemerdekaan sejati. Kita tahu, mereka juga tahu bahwa Indonesia belum sepenuhnya merdeka dalam usianya yang 72 tahun ini. Sebab, rakyat di beberapa sudut Nusantara ini masih hidup dalam rintihan penderitaan yang tak terungkap. Hakekat keadilan belum menyentuh hati mereka yang hidup di pedalaman dan orang-orang lemah di pinggiran kota. Bahkan, kemerdekaan kini hanya bermakna Indonesia telah lepas dari belenggu penjajah Kolonialisme, tapi Indonesia masih terkungkung dalam suatu penjajahan gaya baru-yaitu penjajahan ekonomi dunia barat (Kapitalisme).

Tapi, kondisi ini menjadi tanggungjawab bersama, tanggungjawab yang terhormat wakil rakyat kita yang duduk di Senayan. Seharusnya seluruh steakholder turut bersama-sama membantu pemerintah untuk menjadikan Republik ini mandiri secara ekonomi. Kita tak boleh tergoda dengan hasrat yang menggiring nurani menepi  di ruang benci. Tak seharusnya rangkaian kata yang menakjubkan itu bergerilya menembus layar kaca hingga menjadi tontonan pamirsa yang tak mendidik. Bahkan membuat salah satu presenter TV sembringah menyelipkan kata-kata yang paripurnah berujung duka dan hinaan. Pamirsa pun sebagain kalap tapi tidak sedikit diantara pamirsa yang tertawa dan tepuk tangan. Dunia ini tak lagi bersahabat-ibarat kita menyaksikan cerita di negeri dongeng yang mengungkap aib di negeri sebelah.

Melalui sajak ini...
Bahwa senja di ujung barat segera pergi meninggalkan Bumi. Mentari sejenak berhenti memancarkan sinarnya menerangi alam semesta, tapi ia akan kembali datang setelah melintasi garis yang tak tampak pada sisi Bumi yang lain-hingga secercah cahaya itu mekar kembali di ujung Timur. Itu artinya Fajar menyapa Bumi, membangkitkan jiwa-jiwa yang lesuh. Tapi, umat Manusia tidak seperti mentari dengan garis lintasan yang berulang. Manusia bangkit ke Bumi setelah ia berjanji kepada Tuhannya untuk memegang teguh anamah sang Khalik. Sifat dendam, kebencian bukanlah sifat untuk umat Manusia, tapi sifat yang di minta khusus oleh para Iblis sebagaimana di tuliskan dalam ayat-ayat suci Tuhan. Jadi...lantunan doa yang di duga menghina Presiden Jokowi, bukanlah perilaku mulia-boleh jadi itu ujaran kebencian berbalut doa. Sekiranya kita segera membuka tabir, meluruskan logika dan hati dan segera "Meminta maaf secara terbuka" karena Jokowi adalah Simbol Negara. Merdeka...Dirgahayu RI ke-72.

"Kita memulai hidup dalam kekosongan, lalu kita terus tumbuh dengan asa yang mulia-menabur cinta tanpa kebencian dan dendam"*** Sahrul

Comments

Popular posts from this blog

Menakar Peluang Tiga Pasangan Cagub Sultra

Kompetisi awal telah usai. Tiga pasangan calon gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) telah mastikan diri sebagai kontestan dalam gelanggang pemilihan gubernur (Pilgub) 2018 setelah menyerahkan tiket ke KPUD Sultra. Mereka adalah Ali Mazi-Lukman Abunawas ( AMAN), Rusda Mahmud-Sjafei Kahar ( RM-SK) dan Asrun-Hugua ( SURGA). Tiga pasangan calon gubernur (Cagub) ini disokong oleh kekuatan besar di republik ini. AMAN merepresentasi kekuatan Airlangga Hartato sebagai Ketua Umum Partai Golkat, Surya Paloh sebagai Ketua Partai Nasdem. Pasangan RM-SK merepresentasi kekuatan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, Muhaimin Iskandar sebagai Ketua Umum PKB. Dan SURGA juga dibekingi dua kekuatan besar yaitu Joko Widodo (Presiden aktif) dan Mega Wati Soekarno Putri yang juga mantan Presiden sekaligus Ketua Umum PDI Perjuangan, termasuk Zulkifli Hasan Ketua Umum PAN yang juga mumpuni ketokohannya. Tapi, ada hal yang menggelitik dalam koalisi gemuk pasangan c...

“Kerinduan”

Ia tetap abadi. Selalu hidup sepanjang zaman—juga di alam Bakah nan abadi. Hidup tak berarti selamanya nyata--hanya bisa dilihat; disaksikan oleh dua bola mata Manusia. Bahkan tak ada mati sesungguhnya. Melainkan sebuah perjalanan panjang menuju ke alam yang kekal—sebuah alam tempat berpulangnya semua yang hidup, yang bernyawa. Itulah alam sang Khalik. Dia perempuan yang aku cintai, juga saudara-saudaraku, terutama ayahku. Keluarga besarku, dan para kerabat, juga mencintainya. Dia lah perempuan yang kami rindukan, yang mereka rindukan. Ibu kami tercinta; kini engkau telah pergi dan tak mungkin kembali lagi. Engkau tak mati—selalu hidup, hidup bersama kami, bersama orang-orang yang menyayangimu. Kematian menjadi momen yang mengangumkan bagimu, tetapi tidak benar-benar istimewa bagi yang ditinggalkan di dunia. Isak tangis, sedih membelenggu hingga di jiwa seolah tak merelakan kepergianmu.  “Kita bisa melakukan apa saja yang kita inginkan di dunia Hingga pada waktunya, saya, dia,...

Lampu Merah Nyawa Bocah Jalanan

Memegang secarik kertas atau koran, bocah-bocah itu berlarian menghampiri pengguna jalan yang berhenti sejenak karena lampu merah. Tersenyum tipis bocah ini menawarkan koran atau kertas yang disimpanya dalam map merah bertuliskan bantuan untuk panti asuhan kepada para pengendara mobil dan motor. "Minta uangnya pak. Beli koran pak, harganya seribu rupiah," begitu kata-kata Boy, salah satu bocah 3 tahun, saat menawarkan koran atau meminta sumbangan kepada para dermawan. Entah bagaimana bocah malang ini bisa mendapatkan koran atau kertas daftar sumbangan panti asuhan itu???. Dengan percaya diri, setiap kali pergantian lampu rambu lalulintas, serentak mendatangi satu persatu para pengemudi itu. Demi mendapatkan uang, bocah ini tak lagi mempedulikan keselamatanya ketika berjalan ditengah ratusan kendaraan yang melintas di jalan itu. Apakah ini tindakan konyol tak berguna atau karena pikiran mereka yang masih polos sehingga uang seribu jauh lebih berharga daripada nyawanya. Dari ...