Skip to main content

Kemerdekaan Di Antara Pemimpin Yang Tak Logis



Dirgahayu 72 Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia. Sedemikan terharunya para pejuang dan pendiri bangsa ini tatkala rohnya itu bangkit dalam ritual tahunan "Kemerdekaan". Merah Putih berkibar di seluruh Nusantara. Pawai bergema dengan hentakan kaki pengerak bendera Sangsaka Merah Putih menggetarkan bumi pertiwi. Sungguh meriah; semangat yang tiada tara di antara anak-anak negeri  itu, membuat tanah air dengan seribu pulau ini pun tersenyum di tengah rintihan hiruk pikuk pemerintahan. Tak ada nuansa baru dalam pesta kemerdekaan ini atau tidak lebih dari sekedar cerita lama yang di ulang-ulang saja.

Agustus telah memastikan Bangsa Indonesia lepas dari penjajahan kolonial selama 350 tahun. Perjuangan yang tak singkat dimana darah dan nyawa para pejuang tergeletak di mana-mana. Hingga nama dan tempat wafatnya pun sebagian tak tertulis dalam buku sejarah bangsa ini. Kini tepat 17 Agustus 2017, kupijakkan kaki ini-juga jutaan kaki di seluruh tanah air berdiri tegak dengan menundukan kepala sebagai tanda hormat kami kepadamu wahai pejuang. Tak ada tangis tatkala mengenang jasa dan pengorbanan besar para pejuang itu. Indonesia baik-baik saja hingga Joko Widodo (Jokowi) menjadi pemimpinya. Dalam usia 72 tahun dari pemimpin ke pemimpin pasca Soekarno, Indonesia benar-benar bebas dari penjajahan kolonialisme, tapi sungguh terasa dalam jangka waktu 72 tahun ini rupaya Indonesia di jajah dengan gaya baru (New Imperialisme).

Soekarno, mendeklarasikan kemerdekaan republik ini tidak hanya sekedar merdeka dari penjajahan kolonial (Hindia Belanda) yang ingin menguasai seluruh wilayah teritorial, melainkan kemerdekaan secara menyeluruh. Pemimpin besar (Founding Fathers) Bung Karno menganggap intervensi ekonomi asing (Kapitalisme) sebagai bentuk penjajahan yang lebih menyakitkan bahkan menambah penderitaan rakyat Indonesia. Namun, pasca itu, era telah berganti. Orde baru sebagai era setelah Soekarno, malah berpaling dari nilai-nilai kemerdekaan di era sebelumnya. Penjajahan ekonomi kian menjadi subur hingga sampai pada era Indonesia Kerja. Negara tumbuh subur di tengah dominasi asing. Rakyat menjerit kelaparan, kedinginan di tempat tinggal yang tak berdinding juga tanpa atap, bahkan menangis dalam rasa sakit yang tak mampu membeli obat.

Lalu, di mana arti kemerdekaan?. Profil seorang pemimpin yang patut di kenang bahkan dicintai ketika ia menghasilkan karya yang spektakuler. Setidaknya Bung Karno telah memulainya lebih awal hingga ia menjadi seorang yang termashyur di seluruh belahan bumi ini. Ia seorang pemimpin dengan prestasi yang tak lazim, yang luar biasa, yang tak terduga bahkan sesekali membuat hal yang memuakkan, tapi dengan begitu bangsa kapitalis takut tak bernyali. Makna kemerdekaan di sepeninggalan Soekarno hanya milik penguasa dan kroni-kroninya. Bahkan pemimpin-pemimpin setelahnya kerap memainkan kekuasaannya berkonspirasi dengan pemimpin barat untuk kembali menjajah Rakyat Indonesia. Bumi dan air bukan lagi milik rakyat melainkan milik pemodal asing hingga tanah dan tempat tinggal rakyat tergusur.

72 tahun Indinesia Merdeka adalah selogan yang tak lagi sakral. Negara ini sepertinya kehilangan kedaulatan, Pancasila di obrak abrik, di ronrong atas nama agama. Koruptor kian mendominasi hingga merusak mental generasi muda penerus bangsa, bahkan tidak sedikit pembesar di republik ini terlibat dalam konspirasi perdagangan narkoba, trafficking bahkan terorisme. Sungguh memilukan. Tata kelola pemerintahan juga kian tak beraturan. Tapi, kita tetap bahagia ketika Agustus tiba. Indonesia Merdeka. Setidaknya pemimpin bangsa ini berdiri tegak di hadapan pasukan bersenjata juga anak-anak bangsa sebagai pimpimpin upacara pengibaran bendera suci "Merah Putih". Sejenak penderitaan rakyat berubah menjadi bahagia, terharu dan semuanya hormat "Merah Putih".

Bung Karno telah mengangkat harkat dan martabat bangsa ini di mata dunia. Ia mencapai puncak kemashyuranya ketika ia menyuruh bangsa asing untuk pergi ke neraka (Go To Hell) sebagai bentuk penolakannya terhadap kerjasama asing saat itu. Sekiranya prinsip sang pemimpin besar revolusi Indonesia ini membuka dan meluruskan logika pemimpin-pemimpin setelahnya untuk mengembalikan kemerdekaan Indonesia seutuhnya. Rakyat sudah cukup menderita karena di jajah di negerinya sendiri. Pemimpin bangsa ini harus menegakkan kedaulatan rakyat dan mengembalikan kepemilikan Bumi dan Air untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.

"Karena kemerdekaan itu sebagai simbol harkat dan martabat bangsa yang tak bisa dinilai dari apapun juga". *** SAHRUL





Comments

Popular posts from this blog

Menakar Peluang Tiga Pasangan Cagub Sultra

Kompetisi awal telah usai. Tiga pasangan calon gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) telah mastikan diri sebagai kontestan dalam gelanggang pemilihan gubernur (Pilgub) 2018 setelah menyerahkan tiket ke KPUD Sultra. Mereka adalah Ali Mazi-Lukman Abunawas ( AMAN), Rusda Mahmud-Sjafei Kahar ( RM-SK) dan Asrun-Hugua ( SURGA). Tiga pasangan calon gubernur (Cagub) ini disokong oleh kekuatan besar di republik ini. AMAN merepresentasi kekuatan Airlangga Hartato sebagai Ketua Umum Partai Golkat, Surya Paloh sebagai Ketua Partai Nasdem. Pasangan RM-SK merepresentasi kekuatan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, Muhaimin Iskandar sebagai Ketua Umum PKB. Dan SURGA juga dibekingi dua kekuatan besar yaitu Joko Widodo (Presiden aktif) dan Mega Wati Soekarno Putri yang juga mantan Presiden sekaligus Ketua Umum PDI Perjuangan, termasuk Zulkifli Hasan Ketua Umum PAN yang juga mumpuni ketokohannya. Tapi, ada hal yang menggelitik dalam koalisi gemuk pasangan c...

“Kerinduan”

Ia tetap abadi. Selalu hidup sepanjang zaman—juga di alam Bakah nan abadi. Hidup tak berarti selamanya nyata--hanya bisa dilihat; disaksikan oleh dua bola mata Manusia. Bahkan tak ada mati sesungguhnya. Melainkan sebuah perjalanan panjang menuju ke alam yang kekal—sebuah alam tempat berpulangnya semua yang hidup, yang bernyawa. Itulah alam sang Khalik. Dia perempuan yang aku cintai, juga saudara-saudaraku, terutama ayahku. Keluarga besarku, dan para kerabat, juga mencintainya. Dia lah perempuan yang kami rindukan, yang mereka rindukan. Ibu kami tercinta; kini engkau telah pergi dan tak mungkin kembali lagi. Engkau tak mati—selalu hidup, hidup bersama kami, bersama orang-orang yang menyayangimu. Kematian menjadi momen yang mengangumkan bagimu, tetapi tidak benar-benar istimewa bagi yang ditinggalkan di dunia. Isak tangis, sedih membelenggu hingga di jiwa seolah tak merelakan kepergianmu.  “Kita bisa melakukan apa saja yang kita inginkan di dunia Hingga pada waktunya, saya, dia,...

Lampu Merah Nyawa Bocah Jalanan

Memegang secarik kertas atau koran, bocah-bocah itu berlarian menghampiri pengguna jalan yang berhenti sejenak karena lampu merah. Tersenyum tipis bocah ini menawarkan koran atau kertas yang disimpanya dalam map merah bertuliskan bantuan untuk panti asuhan kepada para pengendara mobil dan motor. "Minta uangnya pak. Beli koran pak, harganya seribu rupiah," begitu kata-kata Boy, salah satu bocah 3 tahun, saat menawarkan koran atau meminta sumbangan kepada para dermawan. Entah bagaimana bocah malang ini bisa mendapatkan koran atau kertas daftar sumbangan panti asuhan itu???. Dengan percaya diri, setiap kali pergantian lampu rambu lalulintas, serentak mendatangi satu persatu para pengemudi itu. Demi mendapatkan uang, bocah ini tak lagi mempedulikan keselamatanya ketika berjalan ditengah ratusan kendaraan yang melintas di jalan itu. Apakah ini tindakan konyol tak berguna atau karena pikiran mereka yang masih polos sehingga uang seribu jauh lebih berharga daripada nyawanya. Dari ...