foto/suarapapua.com
Siapa yang tak marah jika Negara tak lagi memberikan keadilan, membungkam kemerdekaan ekspresi. Atau boleh jadi Negara ini disalah gunakan oleh rezim yang tak lagi patuh terhadap aturan Negara. Filep Jacob Semuel Karma salah satu korban atas kewenang-wenangan penguasa sebagaimana Filep menyuarakan nasib rakyat Papua saat itu. Filep di tembaki bersama aktivis pejuang anti kekerasan dan menuntut ketidakadilan pemerintah yang berujung jeruji dan korban jiwa pada tahun 2004 silam. Ia diadili selama 15 tahun penjara dimana sebelumnya ia juga hidup di jeruji besi selama 6, 5 tahun dan baru menghirup udara segar pada tahun 2015 lalu. Ia di adili atas tuduhan yang sama yaitu penghinatan terhadap Negara.
foto/praharasenja.com
Kadang kita tak menduga bahwa kemurnian gerakan kerap mengundang musibah, kekerasan bahkan kematian. Kisah kelam Filep bukan satu-satunya dalam cerita ini, melainkan sosok Munir, Salaim Kancil, Marsinah , Theys Eluay, Jopi Perangingangin, Fuad Muhammad Syafruddin atau Udin tak luput dari sasaran pembunuhan. Para korban merupakan aktivis hak sasasi manusia, lingkungan, jurnalis dan pemerhati sosial yang sadar bahwa undang-undang membolehkan untuk bersuara, berekspresi tatkala kebenaran dibungkam, keadilan tak lagi menjadi milik rakyat jelata. Dan pada akhirnya mereka yang taat itu mati satu-satu, entah siapa lagi jadi korban selanjutnya.
Ketidak adilan di tanah Papua menjadi alasan bagi Filep untuk masuk hutan. Ia seorang tokoh yang kuat dengan wajah penuh buluh ditambah dengan jenggot yang kemerahan dan kaku. Sosoknya sangat disegani saat ia memimpin pengibaran Bendera Papua bersma aktivis lainya. Dan bencana baginya saat tentara menembak ke dua kakinya serta sekitar 100 orang tewas dalam peristiwa itu. Komisi untuk Orang Hilang dan Tindakan Kekerasan (KontraS) Sulawesi angkat bicara. KontaS mengecam atas tindakan pembungkaman hak atas kebebasan berekspresi terhadap Filep Karma selama hampir 11 tahun sejak penangkapan pada 1 Desember 2004. Kebebasan berekspresi dalam mengeluar pendapat telah dijamin dalam UUD 1945 pasal 28, sehingga sangat tidak wajar jika terjadi pemidanaan atas kebebasan tersebut. Kendati demikian KontraS Sulawesi menyambut baik atas pembebasan Filep Karma pada 19 November 2015 lalu.
foto/majalahbeko
Berdasarkan data organisasi Tapol dan Papuan Behind Bars, terdapat 46 tahanan politik lainnya masih ditahan. Hingga pada pembebasan Filep Karma, kondisi ketidakadilan dan kekerasan yang dialami oleh warga Papua tetap saja belum menjadi prioritas pemerintah Indonesia sebagai bentuk upaya penegakan HAM. Sejumlah persoalan kekerasan terus terjadi di Papua, jaminan atas penghidupan yang layak dan pemenuhan rasa keamanan belum juga dapat dinikmati sepenuhnya. Bahkan suara-suara tuntutan atas hak-haknnya kerap direspon dengan penangkapan, penahanan dan berbagai tindak kekerasan lainnya. Di akhir Agustus 2015, terjadi penembakan berujung kematian terhadap warga di Mimika.
Selain itu, penangkapan dan penahanan terhadap sekitar 40 anggota ULMWP (United Liberation Movement of West Papua – Serikat Gerakan Pembebasan Papua Barat) di Bulan Juni lalu. Menyusul sejumlah kasus kekerasan lain di tahun-tahun sebelumnya, semisal pembunuhan terhadap Yawan Wayeni pada Agustus 2009.
Bagi Asyari Mukrim, Kepala Biro Penelitian dan Pengembangan, KontraS Sulawesi bahwa pembebasan Filep Karma adalah momentum untuk kembali menegaskan kepada pemerintahan Jokowi untuk :
1. Pemenuhan, jaminan dan perlidungan atas hak-hak masyarakat di Papua sebagai agenda prioritas;
2. Menghentikan segala bentuk tindak kekerasan terhadap masyarakat Papua oleh aparat keamanan dan merespon dengan pendekatan berkeadilan dan penghormatan HAM atas segala tindak kekerasan oleh aparat yang umumnya dalam bentuk intimidasi, penganiayaan, penyiksaan, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang
3. Melaksanakan dialog terbuka antara masyarakat Papua dan pemerintahan pusat sebagai upaya untuk penyelesaian berbagai konflik yang terjadi di Papua.
Siapa yang tak marah jika Negara tak lagi memberikan keadilan, membungkam kemerdekaan ekspresi. Atau boleh jadi Negara ini disalah gunakan oleh rezim yang tak lagi patuh terhadap aturan Negara. Filep Jacob Semuel Karma salah satu korban atas kewenang-wenangan penguasa sebagaimana Filep menyuarakan nasib rakyat Papua saat itu. Filep di tembaki bersama aktivis pejuang anti kekerasan dan menuntut ketidakadilan pemerintah yang berujung jeruji dan korban jiwa pada tahun 2004 silam. Ia diadili selama 15 tahun penjara dimana sebelumnya ia juga hidup di jeruji besi selama 6, 5 tahun dan baru menghirup udara segar pada tahun 2015 lalu. Ia di adili atas tuduhan yang sama yaitu penghinatan terhadap Negara.
foto/praharasenja.com
Kadang kita tak menduga bahwa kemurnian gerakan kerap mengundang musibah, kekerasan bahkan kematian. Kisah kelam Filep bukan satu-satunya dalam cerita ini, melainkan sosok Munir, Salaim Kancil, Marsinah , Theys Eluay, Jopi Perangingangin, Fuad Muhammad Syafruddin atau Udin tak luput dari sasaran pembunuhan. Para korban merupakan aktivis hak sasasi manusia, lingkungan, jurnalis dan pemerhati sosial yang sadar bahwa undang-undang membolehkan untuk bersuara, berekspresi tatkala kebenaran dibungkam, keadilan tak lagi menjadi milik rakyat jelata. Dan pada akhirnya mereka yang taat itu mati satu-satu, entah siapa lagi jadi korban selanjutnya.
Ketidak adilan di tanah Papua menjadi alasan bagi Filep untuk masuk hutan. Ia seorang tokoh yang kuat dengan wajah penuh buluh ditambah dengan jenggot yang kemerahan dan kaku. Sosoknya sangat disegani saat ia memimpin pengibaran Bendera Papua bersma aktivis lainya. Dan bencana baginya saat tentara menembak ke dua kakinya serta sekitar 100 orang tewas dalam peristiwa itu. Komisi untuk Orang Hilang dan Tindakan Kekerasan (KontraS) Sulawesi angkat bicara. KontaS mengecam atas tindakan pembungkaman hak atas kebebasan berekspresi terhadap Filep Karma selama hampir 11 tahun sejak penangkapan pada 1 Desember 2004. Kebebasan berekspresi dalam mengeluar pendapat telah dijamin dalam UUD 1945 pasal 28, sehingga sangat tidak wajar jika terjadi pemidanaan atas kebebasan tersebut. Kendati demikian KontraS Sulawesi menyambut baik atas pembebasan Filep Karma pada 19 November 2015 lalu.
Berdasarkan data organisasi Tapol dan Papuan Behind Bars, terdapat 46 tahanan politik lainnya masih ditahan. Hingga pada pembebasan Filep Karma, kondisi ketidakadilan dan kekerasan yang dialami oleh warga Papua tetap saja belum menjadi prioritas pemerintah Indonesia sebagai bentuk upaya penegakan HAM. Sejumlah persoalan kekerasan terus terjadi di Papua, jaminan atas penghidupan yang layak dan pemenuhan rasa keamanan belum juga dapat dinikmati sepenuhnya. Bahkan suara-suara tuntutan atas hak-haknnya kerap direspon dengan penangkapan, penahanan dan berbagai tindak kekerasan lainnya. Di akhir Agustus 2015, terjadi penembakan berujung kematian terhadap warga di Mimika.
Selain itu, penangkapan dan penahanan terhadap sekitar 40 anggota ULMWP (United Liberation Movement of West Papua – Serikat Gerakan Pembebasan Papua Barat) di Bulan Juni lalu. Menyusul sejumlah kasus kekerasan lain di tahun-tahun sebelumnya, semisal pembunuhan terhadap Yawan Wayeni pada Agustus 2009.
Bagi Asyari Mukrim, Kepala Biro Penelitian dan Pengembangan, KontraS Sulawesi bahwa pembebasan Filep Karma adalah momentum untuk kembali menegaskan kepada pemerintahan Jokowi untuk :
1. Pemenuhan, jaminan dan perlidungan atas hak-hak masyarakat di Papua sebagai agenda prioritas;
2. Menghentikan segala bentuk tindak kekerasan terhadap masyarakat Papua oleh aparat keamanan dan merespon dengan pendekatan berkeadilan dan penghormatan HAM atas segala tindak kekerasan oleh aparat yang umumnya dalam bentuk intimidasi, penganiayaan, penyiksaan, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang
3. Melaksanakan dialog terbuka antara masyarakat Papua dan pemerintahan pusat sebagai upaya untuk penyelesaian berbagai konflik yang terjadi di Papua.
Comments