Jumat, 23 September 2016, Jemaat Nasrani tak fokus lagi menghadap Yesus-Tuhan mereka. Para Jemaat Bunturannu ini sangat ketakutan saat massa Front Pembela Islam (FPI) mendatangi Gereja Toraja Klasis Makassar, usai Salat Jumat. Dalam aksi itu, massa FPI menolak pembangunan Gereja di Jalan Cenderawasih III Makassar ini karena di duga IMB Gereja tersebut palsu. Saya tidak mengerti, siapa sebenarnya yang memiliki kewenangan untuk menentukan keabsahan IMB tersebut.
Saya tidak melihatnya dalam sudut pandang palsu tidaknya IMB pembangunan Gereja itu melainkan ego mayoritas atas nama Agama. Mungkin bahasa krennya tindkan intoleran di tengah keberagaman Suku, Agama san Budaya. Maraknya tindakan intoleran ini mempertegas bahwa Pemerintah masih kesulitan melaksanakan salah satu tugas pentingnya, yaitu demokratisasi kehidupan berbangsa dan bernegara sejak Reformasi 1998. Salah satu poin penting adalah mendorong Negara mematuhi prinsip-prinsip hak asasi manusia yang telah menjadi hak konstitusional warga negara.
Atas dasar itu seharusnya warga negara dijamin kebebasannya melaksanakan keyakinan Agamanya. Ini bukan soal klaim atas kebenaran masing-masing keyakinan Agama kita melainkan keharusan bagi kita warga Negara menghormati nilai-nilai luhur Pancasila dan Undang-Undang Dasar 45. Perilaku ini menuntut Negara untuk secara terus menerus meningkatkan jaminan kebebasan itu dengan menghapuskan segala bentuk intoleransi, diskriminasi, dan kekerasan atas nama agama.
Sabtu, 17 September 2016, sekitar pukul 04.00 WITA, Gereja Katolik Paroki Santa Perawan Maria Diangkat Ke Surga di Jl. Tupai dilempari batu oleh orang tak dikenal, yang mengakibatkan 2 (dua) kaca jendela pecah. Dalam waktu yang tak lama, Gereja Toraja yang terletak di Jl. Anuang juga dilempari. Kedua gereja ini berlokasi cukup berdekatan. Minggu, 25 September 2016, sekitar pukul 19.00 WITA, terjadi pelemparan terhadap Gereja Toraja di Jl. Gunung Bawakaraeng oleh sekitar 10-15 orang tak dikenal. Tindakan tersebut mengakibatkan rusaknya pagar gereja. Penjaga gereja sempat menangkap salah seorang pelaku, namun terpaksa dilepas akibat diancam dengan senjata tajam berupa busur. Kejadian ini terjadi saat jemaat Gereja sedang beribadah.
foto; int
Dalam peristiwa itu, juga diketahui bahwa pihak kepolisian telah mengetahui bahwa akan adanya aksi pengepungan, namun pihak kepolisian yang berada di lokasi tak mampu melakukan apa-apa, ketika massa mulai memasang poster hingga menempel paku sebuah poster di pintu masuk ruang ibadah dan merobek lembaran Surat IMB yang ditempel di dinding Gereja. Persoalan atas agama ini ditandai oleh radikalisasi sentimen agama dan kebencian terhadap kelompok agama tertentu dan hal ini tidak lahir bgitu saja, namun merupakan hasil turunan dari kebijakan politik negara yang ambigu. Di satu sisi berbagai kebijakan formal, termasuk konstitusi dan undang-undang nasional banyak yang pro-HAM sebagai buah gerakan reformasi.
Di sisi lain, pemerintah pusat tampak gamang ketika terdapat kebijakan turunan atau kebijakan lokal yang justru bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM dan kebebasan berkeyakinan. Padahal secara mendasar, Negara telah meneguhkan komitmennya melalui Pasal 28 E Ayat (1 & 2) UUD Negara RI 1945.
Jaminan yang sama juga tertuang dalam UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 12/2005 tentang Pengesahan Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik. Namun demikian, politik pembatasan terhadap hak ini masih terus terjadi, baik menggunakan Pasal 28 J (2) maupun melalui peraturan perundang-undangan yang diskriminatif.
Parameter lain yang digunakan juga adalah Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Keyakinan (Declaration on The Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination Based On Religion Or Belief) yang dicetuskan melalui resolusi Sidang Umum PBB No 36/55 pada 25 November 1981. Demikian penjelasan, Muh. Fajar Akbar, S.H. Wakil Direktur bidang Monitoring dan Evaluasi, LBH Makassar.
Comments