foto/radionz.co.nz
Filep, tak pernah putus asa. Bahkan ia selalu hadir di tengah-tengan barisan rakyat pencari keadilan di negeri ini. Ia sangat lantang bersuara. Mungkin begitu Filep mengeksperesikan kekecewaannya terhadap Negara yang tak berbagi keadilan. Lelaki Papua ini tidak begitu khawatir atas dirinya dan keluarganya, sebab ia sudah mapan-mungkin keadilan tak perlu lagi baginya. Tapi ia sadar. Bahwa ia hidup tak sendiri, ia hidup bersama Rakyat Indonesia, hidup bersama etnik di ujung Nusantara yang jauh dari perhatian Negara.
Jika Negara adil, Filep tak mungkin berteriak, tak mungkin masuk hutan, tak mungkin melawan Negara. Ia benar-benar sadar bahwa negeri ini separuhnya di hidupi oleh tanah Papua, bahkan tidak sedikit mutiara dari Timur Indonesia ini menghamrumkan nama bangsa ini di tingkat Dunia. Baginya, sudah cukup alasan untuk melawan ketidak adilan dan rela menaggalkan pengabdiannya terhadap Negara ini. Ia memilih bergabung dalam gerakan melawan Soerharto, Presiden Republik ini yang abai terhadap nasib rakyat Papua saat itu. Melalui momentum itu, Filep mulai mengangkat isu pemisahan Papua dari Indonesia.
Filep Jacob Semuel Karma nama lengkapnya. Ia dibesarkan dalam keluarga kelas atas yang aktif di perpolitikan daerah. Ayahnya, Andreas Karma, adalah pegawai negeri sipil didikan Belanda, lalu menjadi Bupati Wamena. Keluarga Filep hampir menguasai pentas politik lokal di sana. Constant Karma, salah satu sepupu Filep, menjabat sebagai wakil gubernur Papua. Namun, negeri ini tampak memainkan lakon tidak begitu jauh berbeda dengan kisah Hitler. Filep memutuskan untuk mengibarkan bendera Papua Barat pada 2 Juli 1998. Ia memimpin upacara pengibaran bendera di Biak itu yang berakhir rusuh dengan Polisi. Militer Indonesia menduduki Pulau Biak empat hari kemudian dan menembaki aktivis. Filep menduga lebih dari 100 pengunjuk rasa tewas dan dikuburkan di pulau-pulau terdekat.
foto/play.tojsiab.com
Filep di tangkap dengan luka tembak di kedua kakinya. Ia di adili lalu di penjara selama 6, 5 tahun atas tuduhan penghinatan terhadap Negara. Tanggal 1 Desember 2004, Filep kembali berpartisipasi dalam upacara pengibaran bendera kedua yang menandakan ulang tahun kemerdekaan Papua. Namun, ia kembali ditangkap bersama aktivis Yusak Pakage atas tuduhan yang sama. Dalam perisitiwa ini menewaskan aktivis pro-kemerdekaan. Hingga kini, sangat sulit bagi Rakyat Papua untuk benar-benar merasakan keadilan sebagaimana Natalius Pigai menuturkan hal itu. Pemerintahan kini tidak lebih dari sekedar sajak dengan angan yang tak berujung keadilan bagi oarang Papua.
foto/watikamvoice.blogspot.com
Negara ini bukan sanggar seni, bukan pentas yang bagi Natalius hanya memuja-muji Pemerintah saban hari tanpa henti, tanpa cape dan tanpa bosan. Janji, pemerintah tidak langgar HAM, komitmen pada rakyat, konsisten, demokratis, menghormati kebebasan ekspresi, hanyalah kesimpulan sepihak. Kita Sudah terlalu lama hidup didalam kungkungan kebohongan dan terpolarisasi berdasarkan fragmentasi elit bangsa. Papua adalah Indonesia, rakyat Papua harus mendapatkan perhatian dan keadilan dengan tidak menggunakan kekerasan.
Filep, tak pernah putus asa. Bahkan ia selalu hadir di tengah-tengan barisan rakyat pencari keadilan di negeri ini. Ia sangat lantang bersuara. Mungkin begitu Filep mengeksperesikan kekecewaannya terhadap Negara yang tak berbagi keadilan. Lelaki Papua ini tidak begitu khawatir atas dirinya dan keluarganya, sebab ia sudah mapan-mungkin keadilan tak perlu lagi baginya. Tapi ia sadar. Bahwa ia hidup tak sendiri, ia hidup bersama Rakyat Indonesia, hidup bersama etnik di ujung Nusantara yang jauh dari perhatian Negara.
Jika Negara adil, Filep tak mungkin berteriak, tak mungkin masuk hutan, tak mungkin melawan Negara. Ia benar-benar sadar bahwa negeri ini separuhnya di hidupi oleh tanah Papua, bahkan tidak sedikit mutiara dari Timur Indonesia ini menghamrumkan nama bangsa ini di tingkat Dunia. Baginya, sudah cukup alasan untuk melawan ketidak adilan dan rela menaggalkan pengabdiannya terhadap Negara ini. Ia memilih bergabung dalam gerakan melawan Soerharto, Presiden Republik ini yang abai terhadap nasib rakyat Papua saat itu. Melalui momentum itu, Filep mulai mengangkat isu pemisahan Papua dari Indonesia.
Filep Jacob Semuel Karma nama lengkapnya. Ia dibesarkan dalam keluarga kelas atas yang aktif di perpolitikan daerah. Ayahnya, Andreas Karma, adalah pegawai negeri sipil didikan Belanda, lalu menjadi Bupati Wamena. Keluarga Filep hampir menguasai pentas politik lokal di sana. Constant Karma, salah satu sepupu Filep, menjabat sebagai wakil gubernur Papua. Namun, negeri ini tampak memainkan lakon tidak begitu jauh berbeda dengan kisah Hitler. Filep memutuskan untuk mengibarkan bendera Papua Barat pada 2 Juli 1998. Ia memimpin upacara pengibaran bendera di Biak itu yang berakhir rusuh dengan Polisi. Militer Indonesia menduduki Pulau Biak empat hari kemudian dan menembaki aktivis. Filep menduga lebih dari 100 pengunjuk rasa tewas dan dikuburkan di pulau-pulau terdekat.
foto/play.tojsiab.com
Filep di tangkap dengan luka tembak di kedua kakinya. Ia di adili lalu di penjara selama 6, 5 tahun atas tuduhan penghinatan terhadap Negara. Tanggal 1 Desember 2004, Filep kembali berpartisipasi dalam upacara pengibaran bendera kedua yang menandakan ulang tahun kemerdekaan Papua. Namun, ia kembali ditangkap bersama aktivis Yusak Pakage atas tuduhan yang sama. Dalam perisitiwa ini menewaskan aktivis pro-kemerdekaan. Hingga kini, sangat sulit bagi Rakyat Papua untuk benar-benar merasakan keadilan sebagaimana Natalius Pigai menuturkan hal itu. Pemerintahan kini tidak lebih dari sekedar sajak dengan angan yang tak berujung keadilan bagi oarang Papua.
foto/watikamvoice.blogspot.com
Negara ini bukan sanggar seni, bukan pentas yang bagi Natalius hanya memuja-muji Pemerintah saban hari tanpa henti, tanpa cape dan tanpa bosan. Janji, pemerintah tidak langgar HAM, komitmen pada rakyat, konsisten, demokratis, menghormati kebebasan ekspresi, hanyalah kesimpulan sepihak. Kita Sudah terlalu lama hidup didalam kungkungan kebohongan dan terpolarisasi berdasarkan fragmentasi elit bangsa. Papua adalah Indonesia, rakyat Papua harus mendapatkan perhatian dan keadilan dengan tidak menggunakan kekerasan.
Comments