Usianya sudah di ujung senja. Tapi masih tetap kokoh berdiri
di atas Julung-Julung (Semacam miniature perahu pinisi yang di dalamnya
berisikan beragam makanan tradisional) dengan memegang sebilah parang yang
digunakan untuk menata pernak pernik. Tak butuh waktu lama ia dapat
menyelesaikan pekerjaannya. Daeng Sangkala 60 tahun, nama pria tua itu. Usai
menata hiasan dengan beragam warna semakin menambah keunikan dan keindahan miniature
perahu pinisi tersebut. Setelah itu, ia meletakkan bakul besar (Tempat
menyimpan telur) di beberapa bagian Julung-Julung-lalu dengan teliti meletakkan
ratusan butir telur berwarna merah di atasnya secara teratur.
Bukan hanya Sangkala yang sibuk membuat miniature kapal
pinisi yang berukuran sekitar 5x 2 meter dengan hiasan yang menarik. Melainkan umunya
masyarakat yang tinggal di Desa Cikoang Kecamatan Mangarabombang, Kabupaten
Takalar. Acara ini merupakan puncak peringatan maulid Nabi Muhammad yang jatuh
pada 12 Rabiul Awal. Dalam bahasa Makassar, Maulid disebut “Maudu Lompoa.”
Uniknya ritual ini diselenggarakan oleh salah satu komunitas masyarakat di
Takalar, Sulawesi Selatan, atau biasa di sebut “Komunitas Cikoang”. Mengenai
makna Cikoang, saya menuliskannya dalam satu artikel terpisah dengan ini.
Tunggu postingan selanjutnya.
Komunitas Cikoang berkeyakinan bahwa acara maulid yang
dirayakan merupakan penutup dari maulid yang dirayakan daerah lain di Sulawesi
Selatan. Karenanya, mereka rela menghabiskan tabungan untuk memeriahkan acara
puncak Maudu Lompoa tersebut. Sangkala
contohnya. Ia menarik semua uang yang ditabungnya di Bank Rakyat Indonesia
(BRI) untuk membeli segala keperluan acara tersebut. Atau menyediakan isi dua
julung-julung dan dua bakul.
“Saya sudah tua jadi, ini ucapan terimakasih saya kepada
Nabi," kata Sangkala.
Untuk membuat dua julung-julung saja menghabiskan biaya Rp
10 juta. Selebihnya digunakan untuk membeli ratusan butir telur, beras untuk
membuat kado minyak, dan puluhan lembar pakaian, sarung dengan warna yang
beragam. Pakaian dan sarung itu digunakan sebagai layar julung-julung atau
meniatur kapal pinisi.
Seluruh isi julung-julung tersebut bisa diambil siapa saja
yang datang. Mereka menyakini bahawa
orang-orang yang datang memperebutkan isi julung-julung tersebut menjadi pembawa berkah.
"Ritual ini
merupakan tradisi yang sudah terun temurun oleh leluhur. Jadi, kami
habis-habisan hanya untuk merayakan ritual kencintaan kami terhadap nabi,"
uajarnya.
Disamping Julung-Julung itu terdapat dua gendang dan satu Gong dan dua Gambang-Gambang. Alat musik tradisional itu untuk menghibur para pengunjung. Yang memainkannya bukan hanya orang dewasa tapi juga anak kecil. Salah satu tokoh masyarakat Muhammad Iskandar mengatakan, perayaan maulid ini semua warga Cikoang mengeluarkan uang banyak. "Kami menganggap ini waktunya untuk berkorban. Ini hanya semata-mata untuk nabi," kata Iskandar.
Iskandar menambahkan, yang merayakan maulid bukan hanya orang masih hidup, tetapi juga yang sudah meninggal dunia. Caranya, pihak keluarga membuat bakul dengan menuliskan nama keluarga yang sudah meninggal. Kata Iskandar, bakul untuk orang meninggal berbeda dengan bakulnya orang yang masih hidup. "Ukurannya lebih kecil dan bisa digendong," katanya.
Acara peringatan maulid Cikoang ini dikunjungi dari beberapa daerah termasuk dari luar Sulawesi Selatan, mislanya Jawa, bahkan orang dari luar negeri seperti Australia. Ketua Pemangku Adat Cikoang Sukwansyah Karaeng Nojeng mengatakan, perayaan maulid Cikoang dilaksanakan diakhir bulan dan merupakan puncak perayaan. Jadi “Maulid Cikoang sebagai penutup maulid yang sudah dilaksanakan oleh daerah lain,” kata Sukwansyah.
Sukwansyah mengatakan, perayaan ini berbeda dengan daerah
lain. Sebab, ritual ala Cikoang harus memenuhi empat unsur yakni masing-masing
anggota keluarga wajib menyumbangkan empat liter beras, satu ekor ayam, satu
biji kelapa, dan telur. “Keempat unsur itu wajib karena mengandung makna empat
sifat rasulullah, yakni syariat, tarekat, hakikat, dan marifat,” kata
Sukwansyah. “Di daerah lain kan hanya syariat saja,” dia menambahkan.
Comments