Bupati Takalar Burhanuddin Baharuddin menerima tradisi angngaru dari tokoh adat masyarakat Cikoang. (Independen.co) |
Meski waktu masih menunjukkan pukul 04 dinihari Sabtu
kemarin, warga Cikoang tampak sibuk. Suara terdengar ke sana ke mari yang tak
beraturan menembus telingah. Udaranya sangat dingin saat itu, azan subuh juga
sudah memanggil untuk segera salat berjamaah. Tapi rasa dingin itu tak lagi
terasa di kulit saat menyaksikan komunitas masyarakat Cikoang yang bolak balik
anak tangga rumah mereka hingga ke tepi laut yang indah dengan pasir putihnya
tersebut. Ada juga yang berenang dan beberapa orang yang memasang bermacam-macam
pernak pernik nan indah di perahu pinisi yang mengapung di tepian.
Uniknya kapal Pinisi yang satu ini layarnya bukan yang biasa digunakan sebelum-sebelumnya, melainkan beberapa lembar sarung, selendang, baju kaos dengan bermacam-macam warna yang dipasang pada tali layar. Sehingga tampilannya benar-benar layar yang siap mengarungi lautan bebas. Tapi, karena ini hanya bagian dari rangkaian ritual Nabi Muhammad, Saw saja maka tak ada satupun Pinisi yang benar-benar berlayar. Di dalam perahu itu ada bakul besar berisi seribu telur yang berwarna merah dan nasi atau kado minyak, kelapa, dan beras. Semuanya bisa disantap bila waktunya tiba. Bakul merupakan salah satu tempat untuk menyimpan makanan tradisional.
foto antara |
Sekitar pukul 09 pagi, ribuan pengujung yang berasal dari daerah lain berdatangan, seperti Makassar, Gowa, Sinjai. Sebagian yang datang membawa bakul kecil dan sebagian datang berdagang. Mereka berfoto dengan menggunakan Julung-Julung itu sebagai latarnya. Ratusan spanduk yang mensponsori ritual itu terbentang di sepnajang jalan, termasuk baliho besar Partai Golkar yang memuat foto Gubernur Syahrul Yasin Limpo dan anak Natsir Ibrahim, anak Bupati Takalar. “Mereka yang berasal dari itu merupakan keturunan Sayiid Jalaluddin. Jadi, mereka kesini datang merayakan ritual maulid ala Cikoang,” kata Syahran Aidid, Ketua Kerukunan Alaiddin Sulawesi Selatan, Sabtu (5/3) di Desa Cikoang, Kecamatan Mangarabombang, Takalar.
Menurut Syahran, warga Cikoang merupakan keturunan dari Sayyid Jalaluddin dan dua orang asli Cikoang yakni Ibunrang dan Idanda. Kedua orang tersebut yang akan didatangi oleh Sayyid pertama kali menginkkan kaki di Cikoang. Sebab, keduanya merupakan pengusa yang memiliki keberanian di Cikoang pada masa lalu. “Pada saat itu kedua orang tersebut tidak memiliki agama. Bahkan siap melawan allah. Kedatangan Sayyid untuk mengajarkan agama islam,” katanya.
foto Disbudapur takalar |
Karena itu, ritual maulid ini berbeda dengan perayaan di daerah lain. Warga
Cikoang merayakan maulid ada dua makna yakni memperingati proses kejadian nur
Muhammad dan kelahiran. Kedua makna tersebut disimbolkan dengan bakul sebagai
bayangan tubuh manusia. Tubuh itu harus diisi dengan empat ilmu yakni ilmu
syariat, tarekat, hakikat, dan marifat.
Masing-masing memiliki makna dalam setiap ritual. Misalnya, beras empat liter yang ada di Julung-Julung, ini bertanda sebagai ilmu syariat. Sebab, syariat merupakan ajaran sehari-hari. Ayam sebagai lambing Tarekat, karena ayam berkokoh 7 kali sehari semalam. Ini bermakna mengingatkan orang watu shalat dan belajar. Hakikat dilambangkan dengan Kelapa, karena satu-satunya buah yang memiliki dua mata yakni mata yang berada di luar dan di dalam. Ini menandakan adalah isyarat kepada manusia untuk mengikuti kata hati. Dan Mahrifat dilambangkan dengan telur, karena berada paling atas. Maknanya merupakan hubungan langsung antara yang disembah (allah) dan yang menyembah.
Lebih dari 100 Julung-Julung berjejer di sekitar pantai dan sebagian dalam air. Ini melambangkan sebagai arah kedatangan Sayyid. Sebelum acara itu dibuka oleh Wakil Gubernur Sulawesi Selatan Agus Arifin Numang, ada beberapa kegiatan yang diperlombakan oleh warga Cikoang. Misalnya lomba renang, lomba menangkap bebek, dan silat Mancang (Bela diri Makassar).
Masing-masing memiliki makna dalam setiap ritual. Misalnya, beras empat liter yang ada di Julung-Julung, ini bertanda sebagai ilmu syariat. Sebab, syariat merupakan ajaran sehari-hari. Ayam sebagai lambing Tarekat, karena ayam berkokoh 7 kali sehari semalam. Ini bermakna mengingatkan orang watu shalat dan belajar. Hakikat dilambangkan dengan Kelapa, karena satu-satunya buah yang memiliki dua mata yakni mata yang berada di luar dan di dalam. Ini menandakan adalah isyarat kepada manusia untuk mengikuti kata hati. Dan Mahrifat dilambangkan dengan telur, karena berada paling atas. Maknanya merupakan hubungan langsung antara yang disembah (allah) dan yang menyembah.
Lebih dari 100 Julung-Julung berjejer di sekitar pantai dan sebagian dalam air. Ini melambangkan sebagai arah kedatangan Sayyid. Sebelum acara itu dibuka oleh Wakil Gubernur Sulawesi Selatan Agus Arifin Numang, ada beberapa kegiatan yang diperlombakan oleh warga Cikoang. Misalnya lomba renang, lomba menangkap bebek, dan silat Mancang (Bela diri Makassar).
foto|tempo.co |
Sedangkan isi Julung-Julung, seperti telur, tidak diperebutkan. Tapi, mereka
secara teratur mengambil isi bakul besar dan telur yang ada di julung-julung
tersebut. Menurut Syahran, semua isi Julung-Julung itu bisa diambil siapa saja
yang datang. Sebab, maulid ala Cikoang merupakan puncak untuk menujukkan
kecintaan terhadap Nabi Muhammad.
Sayyid Jalaluddin Al Aidid, pertama kali datang Pada tahun 1641. Sayiid datang dari Banjarmasin langsung menghadap raja Gowa ke 14 Sultan Malikulsaid. Sebab, istri Sayyid, masih bersepupu dengan raja Gowa. Di depan raja Gowa, Sayyid mengaku anak dari Sayyid Muhammad Wahid di Aceh dan merupakan cucu Rasulullah Muhammad, turunan ke 29. Tujuan kedatangan Sayyid, untuk menyebarkan agama islam. Namun, saat itu Raja Gowa memberikan empat syarat untuk dapat bergabung sebagai keluarga termasuk menyebarkan islam. Keempat syarat tersebut yakni harus berasal dari keluarga bangsawan, kaya raya, berilmu dan berani.
Namun, Sayyid hanya memenuhi satu syarat yakni berlimu. Tiga syarat lainya tidak dimilikinya. Raja Gowa mengutusnya untuk pergi menaklukkan dua orang pemberani yakni Ibunrang dan Idanda di Cikoang. Sayyid pun mampu menakludkan kedua orang pemberani yang dimaksud raja Gowa.
Sayyid Jalaluddin Al Aidid, pertama kali datang Pada tahun 1641. Sayiid datang dari Banjarmasin langsung menghadap raja Gowa ke 14 Sultan Malikulsaid. Sebab, istri Sayyid, masih bersepupu dengan raja Gowa. Di depan raja Gowa, Sayyid mengaku anak dari Sayyid Muhammad Wahid di Aceh dan merupakan cucu Rasulullah Muhammad, turunan ke 29. Tujuan kedatangan Sayyid, untuk menyebarkan agama islam. Namun, saat itu Raja Gowa memberikan empat syarat untuk dapat bergabung sebagai keluarga termasuk menyebarkan islam. Keempat syarat tersebut yakni harus berasal dari keluarga bangsawan, kaya raya, berilmu dan berani.
Namun, Sayyid hanya memenuhi satu syarat yakni berlimu. Tiga syarat lainya tidak dimilikinya. Raja Gowa mengutusnya untuk pergi menaklukkan dua orang pemberani yakni Ibunrang dan Idanda di Cikoang. Sayyid pun mampu menakludkan kedua orang pemberani yang dimaksud raja Gowa.
foto|tempo.co |
Ketua Lembaga Adat Karaeng Laikang Muhammad Yunus Aidid mengatakan, bahan-bahan
maulid dipersiapkan satu bulan sebelumnnya. Seperti beras yang digunakan harus
diambil dari padi yang ditumbuk melalui lesung. “Ini sudah aturan kami sebagai
warga Cikoang,” kata Yunus.
Aturan yang dianggap sacral misalnya, air beras yang dicuci tidak bisa dibuang keluar, makanan untuk maulid tidak bisa dimakan sebelum waktunya. Yunus mengatakan, jika aturan itu dilanggar, maka aka ada kejadian yang merugikan orang yang melanggar. “Mereka bisa meninggal dalam waktu dekat kalau aturan itu dilanggar,” ujarnya.
Aturan yang dianggap sacral misalnya, air beras yang dicuci tidak bisa dibuang keluar, makanan untuk maulid tidak bisa dimakan sebelum waktunya. Yunus mengatakan, jika aturan itu dilanggar, maka aka ada kejadian yang merugikan orang yang melanggar. “Mereka bisa meninggal dalam waktu dekat kalau aturan itu dilanggar,” ujarnya.
Comments