Gaya bertuturnya sudah terbatah-batah. Bangsawan
Karaeng Lira, namanya. Ia seorang pemimpin dan penggerak massa ketika
menggayang rumah beberapa pemimpin organisasi barisan tani indoneisa (BTI), dan
pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI).Tidak hanya menggayang, saat itu
sekitar 1975, ia juga menyiksa, mengawasi langsung mereka (BTI/PKI) dalam
beberapa pekerjaan pemerintah, seperti pengerjaan lapangan sepak bola,
pembangunan irigasi. Saat itu diistilakan kerja pakasa, kerja tanpa upah, dan
makan. Bahkan ia mengkalain dirinya satu-satunya seorang pemberani yang
berhasil menumpas BTI dan PKI.
Karena semangat dan keberaniannya inilah, dia
diangkat sebagai Kepala Desa Bontolanra (1975), Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten
Takalar, oleh Bupati ke tiga Letnan
Kolonel Polisi M Said Passang. Tapi, pada masa pemerintahan Makkatang Daeng
Sibali, Bupati ke dua, ia menjadi Wakil Kepala Desa Aeng Batubatu, begitu ia
menamatkan diri di SMA pada 1962.
Pria
kelahiran Bontolanra 7 Agustus 1940 ini mengikuti jejak ayahnya Karaeng
Galesong terakhir. Ayahnya seorang yang bangsawan yang tak gentar melakukan
perlawanan terhadap colonial Belanda, bersama raja-raja lain di Sulawesi
Selatan, seperti Sultan Hasanuddin. Bahkan dimasa kecilnya, Bangsawan sering
bertemu dengan kelompok DI -TII 1959, ketika dalam perjalanan ke
Makassar-Galesong. Ia menyebut DI-TII sebagai gerombolan dibawah pimpinan Kahar
Mudzakar.
“Lucunya kalo saya turun di Makassaar, saya selalu
ditahan oleh Gerombolan . Tapi saya saat itu saya punya foto bersama Kahar
Muzakar. Jadi saya aman,” kata Bangsawan, ketika di temui di kediamannya, di
Desa Bontolanra, Ahad, 23 September lalu.
Orang tuannya memang sangat dekat dengan Kahar
Mudzakar, pimpinan gerakan DI-TII saat itu. Kendati keluarganya dekat dengan
kelompok yang ia anggap gerombolan itu, tapi ia tetap berkomitmen untuk memberangus
gerakan BTI dan PKI yang mulai mengembangkan struktur keorganisasian di
daerahnya. Ia mengakui bahwa BTI dan PKI saat itu sangat berkembang, dan basis
terbesarnya adalah di Desa Bontolanrang. Kadernya mencapai ribuan orang di
Takalar, sekitar 300 san lebih yang menguasai Desa Bontolanrang saat itu.
Ketika pecah gerakan 30 September 1965, Bupati
Takalar Makkatang Daeng Sibali mengadakan kursus Nasakom (Nasionalis, Agama,
dan Komunis) pada malam hari salah satu rumah tidak jauh dari rumah Bupati Takalar.
Ia yang saat itu menduduki jabatan di dalam pemerintahan desa, ikut sebagai
peserta dalam kursus tersebut. Pesertanya adalah seluruh perangkat pemerintahan
mulai dari Kabupaten, Kecamatan, Lurah, dan desa. Kursus ini dipandu oleh
Karaeng Awo, adik bupati, tanpa sepengetahuan aparat seperti Tentara, Polisi.
Pada hari pertama mengikuti kursus Nasakom ini, dia
dengan lantang mengeluarkan pertanyaan kritis terhadap pemateri. Ia mempertanyakan “apa bedanya Nasakom
Indonesia dengan Nasakom yang ada di dunia?. Karena Komunis itu hanya satu
yakni tidak bertuhan. Usai melontarkan pertanyaan itu, dia langsung disembunyikan
oleh rekannya karena diancam akan
dibunuh karena pertanyaan itu.
“Karena kebetulan, Makkatang Daeng Sibali ini
diangkat Brigadir Jenderal Dewan Rukman Hotman. Rukman ini kan orang PKI. Jadi,
Makkatang Daeng Sibali melaksanakan kursus itu sebagai balas jasa,” dia
menjelaskan.
Kursus Nasakom itu tidak berlanjut karena loyalis
Daeng Sibali mencari Bangsawan.Tapi tidak berhasil hingga Daeng Sibali
diberhentikan dari jabatannya oleh pemerintah pusat. Daeng Sibali menjabat
bupati hanya 1 tahun, setelah itu digantikan oleh Letnan Kolonel Polisi M Said
Passang. Bangsawan tidak cukup dengan pertanyaan pertamannya, melainkan rasa
bingungnya dengan adanya kursus Nasakom tersebut.
Pertanyaanya, kata dia kenapa hanya Takalar yang
mengadakan kursusu Nasakom?. Kurusus ini merupakan satu-satunya kursus yang ada
di Sulawesi Selatan. Yang ikut adalah semua kepala desa, wakil, dan orang-ornag
yang terikat dinas. Pasca kejadian ini, ia merasa bahwa PKI dan BTI ini
benar-benar kelompok berbahaya, tidak beragama, dan mengancam keamanan
masyarakat. Apalagi dalam program BTI bahwa mereka akan membagi-bagikan tanah
pemerintah ke petani.
Berawal dari sinilah kebencian terhadap BTI dan PKI
membara dalam jiwa. Apalagi Daeng Sibali tak lagi menjabat sebagai bupati, Bangsawan
dengan gagah beraninya memimpin langsung penumpasan BTI dan PKI di daerahnya.
Pada 1965/1966, menggayang tiga rumah pemimpin BTI, menyiksa keluarga hingga
tewas. Pada saat itu, polisi dan tentara datang belakangan yakni pada pagi
hari, setelah rumah pimpinan BTI itu hancur. “Polisi bilang :luar biasa gerakan
ini”.
Selain itu, ia juga memimpin penumpasan gerakan
Gerwani. Gerwani diketahui datang dari Gowa, dan masuk dalam barisan upacara 17
Agustus di Galesong Utara. Bangsawan bergegas pulang ke rumahnya untuk menggati
pakaiannya yakni pakayan hijau (pakaian perang tentara veteran), lalu melapor keberadaan
Gerwani itu ke Camat Galesong Utara Andi Irwan Pabokori (1966).
“Ada Gerwani masuk
di Galesong, ini harus diusir”.
Anggota Gerwani yang tidak berhasil lari, mereka diamankan
di kantor Tentara (Koramil), bersama anggota BTI, dan PKI. Bangsawan menyebar
propaganda kepada masyarakat bawha BTI dan Gerwani merupakan underbow PKI.
Mereka yang terlibat masih merupakan bagian dari keluarganya. Perbedaan
ideology ini lah Bangsawan menghukummereka (BTI-PKI) dengan mengerjakan proyek
pemerintah seperti pembuatan jalan, irigasi, lapangan. Mereka tinggal dan tidur
di sebuah kamp Koramil, tanpa ada alas, tanpa ada makanan, hanya tenda.
“Keluarganya yang datang bawa makanan, ada juga yang
tidak (bisa pulang ke rumahnya, tapi hanya sebentar),” ujarnya.
Para tahanan politik ini, sebutan untuk orang-orang
yang terlibat BTI dan PKI bekerja siang malam. Saat itu, peralatan seadanya,
bahkan untuk menumbangkan pohon besar, mereka bergotong royong mencabut pohon
itu dengan tali yang dililitkan di tangan mereka. Begitu juga dengan pekerjaan
lainnya, hanya dengan peralatan sederhana.
Selama 17 tahun, Bangsawan memimpin Desa
Bontolanrang saya pimpin mulai dari 1975 sampai 1992, orang yang terlibat berhasil dibersihkan. Ia
mengaku disukai oleh masyarakat karena keberanianya. Bahkan ia merasa keberanian
yang dimilikinya memang dari tuhan. “Allah semacam memberikan skill,” katanya.
Ia memiliki pengalaman unik ketika menggayang rumah
BTI dan PKI lainnya. Saat itu, ada rumah yang direncanakan untuk dibakar, tapi pemiliknya
ilmunya jadi. “Saya jadi tidak tahu, dimana selatan dan dimana utara. Akhirnya
saya pulang. Saya mau bakar kampong Tabaringan itu. Tabaringan adalah pusat PKI
dan BTI.”
Pada 1992, ia dipanggil oleh Tadjuddin Noer, Bupati
Takalar periode 1987-1992. Ia merasa takut
ketika diminta menghadap. “Apa salahku dipanggil bupati, saya ini salah satu
kepala desa terbaik,” dia menuturkan. “Saat itu, Saya pergi masuk melalui pintu
belakang, karena saya disuka sama ibu bupati.”
Kata ibu Bupati kepada saya “naik pangkatko pak desa”. Dalam
hati saya, kalau saya mau dijadikan camat, saya baru golongan dua. Tidak
mungkin,” kata dia lagi.
Bangsawan diangkat jadi PNS pada tahun 80 an karena
keberhasilannya jadi kepala desa. Saat bertemu bupati, ia langsung ditanya “adami
anakmu yang besar?” saya jawab adami puang. “Adami istrinya”? bupati kembali
bertanya. Saya jawab adami puang. “Bupati saat itu meminta saya mengusulkan
anak saya jadi sekretaris desa, dan saya ditarik menjadi anggota DPR dari
Golkar,” dia menjelaskan. “Saya gabung di Golkar 1992-1997.”
Setelah menjadi anggota DPR, Bangsawan mendapat
kepercayaan dari Golkar untuk menggolkarkan semua masyarakat Galesong. Saat
itu, ia mengajak masyarakat untuk memiliki Golkar pada setiap pemilihan umum.
Cara yang ia lakukan dalam menarik dukungan masyarakat tidak cukup dengan
ajakan, melainkan mengancam akan membunuh, khsusnya orang-orang BTI.
“Saya ini orang keras, tidak ada yang berani sama
saya, biasa ibu saya menangis takut jangan sampai saya dibunuh,” dia
menjelaskan.
Bayangkan, kata dia orang PPP saja pindah ke Golkar.
Ia mengusahakan masyarakat masuk Golkar dengan cara apa saja. “Kalau perlu saya
kerasi.” “Saya pernah diundang ke
Jakarta oleh Harmoko karena keberhasilan saya membesarkan Golkar. Saat itu
dapat penghargaan, tapi saya lupa penghargaan apa, tapi yang saya dengar menikmati
kemerdekaan saat itu.”
Mereka yang terlibat dalam BTI-PKI sudah didata,
bahkan KTP mereka diberikan tanda “T” yang maknanya “Terlibat”. Nama mereka
sudah masuk daftar di arsip desa. Jadi, melalui daftar ini, mereka dikumpulkan
di kamp Koramil dan di beberapa Kamp lainnya seperti di dekat pembangunan
irigasi Bontolanrang. Mereka tidak berani melanggar karena ketakutan.
Bangsawan bukan seorang darah Golkar, melainkan PSI
(Partai Serikat Islam). Orang tuannya (Karaeng Galesong) adalah kader PSI. Jadi
diperiode ke duanya, dia memilih keluar dari Golkar dan pindah ke PSII, partai
pecahan PSI. Ia kembali duduk di DPR periode 1999 sampai 2004 melalui PSII. Di
usinya yang sudah senja ini, ia masih merasakan kekejaman di masa Orde Baru.
Penyeselan tampak di wajahnya yang sudah keriput. Katanya, dulu anggota BTI dan PKI ditangkapi
tidak melalui proses pengadilan. “Sebenarnya saya trauma melihat peristiwa
dulu, seperti swiping di jalan, mereka dihukum (dianiaya),” katanya.
Tidak hanya itu, anak BTI dan PKI yang menjadi
pegawai negeri sipil langsung diputuskan bersalah, dan mencabut status
kepegawaiannya. Bahkan mereka tidak bisa mendaftar TNI, Polisi, PNS. Belum lama
ini kata dia, dirinya pernah didatangi kepala
arsip Sulawesi Selatan. Dia (Kepala Arsip) ingin melihat krisnya syekh yusuf. Bahkan Bangsawan dijanjikan akan diberi uang
dan meminjamkan buku putih yang isisnya mengenai 7 Jenderal. Buku itu judunya adalah 7 Jenderal diangkat
dari lubang buaya oleh arsiteknya senidri.
“Saya gemetar, berdiri saya punya bulu roman. Ternyata,
yang angkat, yang pimpin pembataian jenderal adalah Suharto.” “Saya mengetahui
buku itu baru beberapa tahun ini. Saya sangat menyesal. Berdasarkan buku ini
berarti Suharto lah yang PKI. Kita lihat saja filmnya sangat besar kebohongannya.
Ada sejarah yang dibelokkan. Suharto memang pintar, ahli strategy.”
Penolakan PKI ini dimasa pemerintahan Suharto, kata
dia karena Suharto tahu kalau PKI adalah memiliki kekuatan, dan banyak tahu
soal kejelekkan Suharto. Jadi Suharto ingin membasmi PKI. “Jika kebohongan ini
saya tahu dari dulu, saya tidak melakukan itu (penggayangan, penyiksaan). “allahu akbar”.
“Penyiksaan ini sampai 1998. Perisitiwa ini seperti
klise foto yang sudah dicuci.”
Rahim, yang menjadi pengawas dalam kerja paksa BTI, juga
mengungkapkan dia mengawasi sekitar 300 san orang BTI. Mereka menjadi tahanan
politik dan sebagai sanksinya harus mengerjakan irigasi siang dan malam
sepanjang kurang lebih 3 kilo. Bahkan dalam kerja paksa ini satu orang tewas,
karena kelaparan dan terserang penyakit.
“Mereka tidak dikasi makan, kadang-kadang saya yang
merasa sedih diam-diam saya kasi makan,” kata Rahim.
Mereka (tapol BTI dan PKI) dikumpulkan oleh tentara,
polisi, dan pemerintah. Setelah mereka dikumpulkan, pemerintah menunjuknya sebagai
duta pronda (Pengawas Tapol). Mereka
mulai bekerja pagi sampai 10 malam. Tentara datang melihat para tapol setelah
jam kerja malamselesai yakni sekitar pukul 11.00 malam.
“Tidak ada siksaan fisik, tapi siksaan batin luar
biasa,” katanya. “Mereka tidur tanpa alas (tanah) dalam satu kamp.”
Pemimpin BTI Kecamatan Galesong Kamaruddin Bella
masih belum memafkan mereka yang menggayang keluarganya dan anggota BTI/PKI.
Mereka yang anti BTI sangat kejam dan tidak berprikemanusiaan. Rumahnya, dihancurkan
oleh Bangsawan Lira, dan ayah mertuannya dibunuh karena disuruh lompat dari
atas rumah. “Termasuk anak saya, juga dibunuh,” kata Kamaruddin, ketika ditemui
di rumahnya di Galesong.
Kamaruddin yang saat itu berprofesi sebagi guru
dipecat hanya karena menjadi anggota BTI. Dalam pelarian di hutan, dia
membesarkan BTI hingga mendapatkan banyak pengikut. Selain BTI, ada juga BTII
(Barisan Tani Islam Indonesia), sehingga menambah jumlah pengikut. Berkah
mendapatkan banyak dukungan, kamaruddin duduk di DPR, utusan BTI.
Kamaruddin, tidak lagi cemerlang dalam berfikir. Ia
sudah lupa kapan pertama kali menjadi guru, dan kapan diberhentikan. Usiannya
sudah lebih 80 tahun, sehingga dia bercerita apa adanya. “Saya sudah cukup tua,
sudah banyak yang saya lupa,” tuturnya sambil tertawa.
Di DPR, Kamaruddin tetap lantang menyuarakan
kepentingan kaum tani bersama anggota DPR dari PKI. Setiap kali rapat, ia kerap
berseberangan dengan partai lain. Baik BTI maupun PKI, tak mau kalah dengan
partai lain dalam menyusun program untuk para konsituennya. Namun, karena
kebencian terhadap BTI dan PKI semakin memuncak, maka pemerintah dengan
menggukan aparat TNI, Polisi, memaksanya harus keluar dari rumah rakyat.
“Saya dan kawan PKI kembali ke hutan dan
mengkonsolidasikan anggota,” ujarnya.
Dengan gaya kawan, dan bung dalam memanggil rekan
seideologynya, Kamaruddin benar-benar mempertegas bahwa dia adalah seorang BTI
yang melawan rezim orde baru. Dia tertarik masuk BTI karena programnya berpihak
ke petani. Seperti akan membagi pacul, dan pembagian lahan bagi orang yang
belum memiliki lahan. Karena itu, ketika BTI masuk di Takalar, Kamaruddin
sering memimpin rapat BTI, sehingga kemajuan BTI saat itu sangat subur.
“Istriku juga suka karena di BTI tidak bisa beristri
dua,” katanya sambil terbahak.
Namun, dalam perkembangannya, dirinya berhasil
ditangkap dan beberapa anak buahnya. Mereka diasingkan di gunung Taman
Ria-Gowa. Dipengasingan ini seluruh tahanan menggali gunung untuk lapangan
Bulutangkis (sekarang di sebut Taman Ria). Tahanan menggali gunung ini dengan
waktu yang tidak singkat dengan menggunakan peralatan sedehana, yakni linggis,
dan pacul. “Kami bisa bernapas legah setelah reformasi, setelah ibu Mega
mencabut status pencekalan PKI,” katanya.
Kamaruddin masih terlihat emosional ketika
mengisahkan perampasan hak-haknya (pemcetan dari guru, perampasan tanah,
perusakan rumah). Ia masih menyebut Bangsawan Lira sebagai orang yang tidak
berprikemanusiaan, tidak punya hati nurani ketika membawa ratusan orang
menyerbu rumahnya.
Ketua Lembaga perjuangan korban rezim orde baru (LPR
Krob) Anwar Nabba mengatakan, BTI dan PKI pada masa orde baru tidak bersalah.
Sebab, setelah munculnya reformasi sudah mulai kelihatan pembohongan orde baru,
sudah mulai kelihatan bagaimana kader PKI dan BTI menjadi korban kekuasaan saat
itu.
“Kami sebagai korban 65 bekerjasama dengan komnas
HAM menuntut hak yang diranpas oleh zaman orde baru,” katanya.
Masyarakat yang tinggal di Galesong ini, khsusnya Bontolanrang
mayoritas BTI dan PKI. Para korban masih merasa trauma dengan perlakuan
pemerintah, aparat saat itu. Bahkan hingga saat ini mereka (korban) masih belum
bebas member informasi ke orang lain. Jadi segala sesuatu yang berkaitan dengan
informasi harus melalui organisasi.
“Hingga sekarang kami masih merasakan betapa
sakitnya perlakuan pemerintah orde baru,” ujarnya.
Tempo mengunjungi beberapa lokasi tempat penyiksaan
orang BTI dan PKI. Diantaranya Jalan raya, saluran irigasi, kamp penyiksaan
para tapol, pasar. Jalan, pasar, dan irigasi masih berfungsi sampai sekarang.
Jalannya beraspal terus diperbaiki, termasuk pasar di Galesong.
Anwar menambahkan, para korban mendesak pemerintah
untuk segera mendapatkan pemulihan dan mengeluarkan rekomendasi pengembalian
hak. Seperti, pengembalian status kepegawaian para korban yang dulu menjadi
PNS, menggati kerugian baik materil maupun nama baik.
“Kami tidak bersalah,” katanya.
SAHRUL
Pelaku
Nama : Bangsawan Karaeng Lira
Tempat tanggal lahir: Bontolanrang, 7 Agustus 1940.
Pekerjaan : 1. Wakil Kepala Desa Aengbatubatu 1962
(Pemimpin penggayangan)
2. Kepala Desa 1975 ((Pemimpin
penggayangan)
3. Diangkat jadi PNS 1980 ((Pemimpin
penggayangan)
4. Diangkat jadi Anggota DPRD Takalar
dari Golkar 1992 sampai 1997.
Anggota FPR dari partai PSII periode 1999-2004.
Anak;9 orang.
Comments