Dalam tayangan
hiburan di televisi kita,
salah satu acara yang memperoleh rating tinggi adalah Opera van Java
(OVJ). Acara ini menjadi suguhan yang
cukup menghibur karena kehebatan para comediannya meramu berbagai cerita, lagu dan kisah menjadi kemasan komedi yang
apik. Sebagai sebuah seni
pementasan, opera sabun sesungguhnya mengandung makna serial
yang alurnya berbelit-belit, sarat dengan lakon yang sentimental dan
mencengangkan. Situasi ‘opera sabun’
inilah yang terjadi pascalakon para timsel di KPUD Sulsel (KPU Provinsi maupun
KPU kabupaten/kota di Sulsel).
Eksistensi Timsel
Diumumkannya 5 nama yang telah
ditetapkan oleh KPU sebagai tim seleksi KU Sulsel periode 2013-2018, bagi banyak
kalangan dipandang sebagai sebuah aksi “simsalabim”. Tanpa ada pemberitaan
mengenai proses seleksi timsel, lalu tiba-tiba di media muncul kelima nama-nama
timsel yang didominasi oleh akademisi.
Aksi simsalabim dalam pembentukan timsel KPU provinsi, ternyata juga
berlanjut pada pembentukan timsel pada 13 kabupaten/kota di Sulsel. Tidak ada proses berupa pemberitaan di media
terkait rencana pembentukan timsel, sampai kemudian public membaca nama 5
orang timsel di masing-masing daerah telah ditetapkan oleh KPU Sulsel yang
dipimpin Jayadi Nas. Pengabaian
terhadap prinsip transparansi dan akuntabilitas terjadi dalam proses penetapan
timsel, sehingga menjadi hal yang patut dipertanyakan ketika sejumlah nama
diumumkan dalam komposisi timsel.
Sebagai contoh, adanya timsel di
Gowa yang kompetensi kepemiluan tertingginya adalah sebagai Panwas Kecamatan;
timsel di Takalar yang didominasi oleh kerabat komisioner KPU Sulsel dan calon
legislatif; serta beberapa nama timsel yang menjadi pengurus parpol (ini masih
dalam pengecekan sumber data).
Tulisan ini ingin
menguak beberapa lakon timsel yang menunjukkan kegagalan mereka memaknai
regulasi, baik regulasi untuk seleksi KPUD maupun regulasi penyelenggara
pemilu. Regulasi yang harus dijadikan
acuan dalam seleksi KPUD 2013 adalah PKPU Nomor 2 tahun 2013 tentang Seleksi KPUD,
sedangkan regulasi penyelenggara adalah UU Nomor 15 tahun 2011 tentang
Penyelenggara Pemilu.
Timsel dan Lakon Fatalistik
Ketidakmampuan timsel dalam memahami
regulasi, secara
menyolok terjadi pada timsel KPU Gowa. Untuk
PKPU 2/2013, ditemukan tiga kegagalan timsel.
Pertama, pada
pemasukan berkas pencalonan, terdapat 59 orang yang mendaftar ke panitia
seleksi KPU Gowa. Pendaftar nomor 15 di Gowa ternyata adalah putra dari anggota timsel. Dalam peraturan KPU tidak disebutkan larangan
bagi keluarga timsel untuk mendaftar, sehingga mendaftarnya si putra tentu saja
bukan pelanggaran. Namun, ketika melihat
fakta bahwa si putra tersebut tidak lolos seleksi administrasi karena tidak
cukup umur, maka sesungguhnya perlu dipertanyakan kompetensi si bapak yang
masuk menjadi timsel. Persyaratan
keanggotaan KPUD adalah 30 tahun, ini berarti minimal pendaftar adalah mereka
yang lahir pada tahun 1983. Sungguh miris ketika terdapat timsel yang bahkan
lalai mengetahui syarat
umur untuk menjadi anggota KPU kabupaten/kota. Jika aturan sesederhana itu terabaikan, maka menjadi
pertanyaan besar tentang kemampuannya
untuk memahami pasal-pasal lain yang lebih krusial.
Kedua, Pengabaian
oleh timsel terhadap PKPU 2/2013 juga secara umum terjadi pada perhatian 30%
keterwakilan perempuan. Dengan penegasan
Pasal 26 dan Pasal 30 PKPU 2/2013 tentang kewajiban timsel untuk memperhatikan
30% keterwakilan perempuan, maka seharusnya dalam penetapan 20 maka minimal
terdapat 6 orang perempuan; sedangkan untuk penetapan 10 calon seharusnya
terdapat minimal 3 orang perempuan. Faktanya,
tidak semua timsel menerapkannya, baik di timsel KPU SS maupun timsel di 13 KPU
kab/kota. Sampai saat ini, KPU belum menekankan sanksi jika terdapat timsel
yang tidak memenuhi kuota tersebut.
Sungguh berbeda dengan ketentuan dalam pengajuan calon anggota
legislatif, yang diberi sanksi hilangnya
partai dan nama calon dalam Dapil yang mengabaikan kuota perempuan tersebut. Ini bisa ditengarai sebagai tindakan parsial
dalam penetapan dan pemberlakuan regulasi.
Hal yang
paling fatal dalam lakon timsel, utamanya di Gowa, adalah kegagalan mereka
memahami UU nomor 15 tahun 2011 yang telah menetapkan
bahwa dalam tubuh penyelenggara pemilu, harus bersih dan terbebas dari unsur
parpol. Seorang calon komisioner tidak
boleh terlibat parpol dalam 5 tahun terakhir.
Seharusnya, timsel memeriksa Daftar Calon Sementara (DCS) dan Daftar
Calon Tetap (DCT) tahun 2009 yang ada dalam dokumentasi KPUD untuk menghindari
adanya caleg yang mendaftar. Hal ini
penting dilakukan karena caleg pada tahun 2009, dapat dikatakan terbebas dari
unsur parpol pada tahun 2014, sehingga jika mereka mengikuti seleksi pada tahun
2013 maka otomatis mereka harus dicoret sejak masa pemberkasan. Hal ini yang tidak terjadi dalam penetapan 20 dan 10 nama calon di
Gowa. Lolosnya calon Tasrif, SH pada
nomor urut 8 sungguh menjadi lakon
fatalistik. Calon tersebut adalah caleg
pada Pemilu Legislatif DPRD Gowa tahun 2009.
Dalam DCT Dapil 2 Gowa (meliputi Pallangga dan Barombong), calon tersebut berada pada
Partai Patriot untuk nomor urut 1.
Secara kolektif timsel KPU Gowa melakukan kecelakaan besar dengan
lolosnya calon tersebut karena hal ini menunjukkan ketidakprofesionalan dalam
bekerja. Secara pribadi, patut
dipertanyakan moralitas dan integritas calon ketika mengajukan pemberkasan
karena salah satu lembar formulir yang harus diisi adalah pernyataan tidak
pernah terlibat parpol. Jika calon
mengisi dan menandatangani formulir yang bermaterai tersebut
maka telah terjadi upaya pembohongan publik secara sadar. Calon komisioner seperti ini jauh lebih
bermasalah jika dibandingkan dengan lolosnya calon komisioner yang pernah
diberhentikan oleh DK KPU ataupun yang mengundurkan diri sebagai komisioner.
Menyikapi
fakta-fakta dalam seleksi timsel KPUD khususnya KPU Gowa, saya menjadi teringat
dengan salah satu pertanyaan penguji saya dalam seminar hasil program doktoral:
“apakah peran akademisi dalam pembentukan penyelenggara dapat menjadi indikator
dan penanda independensi KPUD?” Dengan
beberapa fakta yang ada, saya menjadi ragu bahwa bukan “akademisi” yang dapat menjadi benteng terakhir
diterapkannya independensi, melainkan integritas moral individu, tanpa melihat
latar akademisi, aktivis LSM, pekerja profesional, ataupun tokoh
masyarakat. Sangat disayangkan jika tiga
orang akademisi, baik dalam timsel KPU Sulsel maupun timsel KPU Gowa pada
akhirnya akan gagal menetapkan para komisioner yang memiliki integritas moral
dan independensi yang baik.
Menegakkan
Transparansi dan Akuntabilitas
Dua hal
ini nyaris tidak tersentuh dalam proses seleksi calon KPUD. Jika komisioner yang dihasilkan untuk periode
2013-2018 tidak lebih baik daripada
komisioner periode sebelumnya, maka sungguh disayangkan dana 800 juta untuk
seleksi KPU Sulsel dan 500 juta
lainnya untuk nominal seleksi di KPU kab/kota tidak akan efektif. Sekali lagi pada akhirnya kita hanya akan
menghasilkan statistik-statistik tanpa jiwa.
Belum
terlambat sesungguhnya bagi masyarakat untuk mengawal seleksi ini, toh belum
ada penetapan komisioner. Masih dapat
dilakukan upaya-upaya untuk mendorong investigasi terhadap timsel. Bukankah publik punya hak atas transparansi
dan akuntabilitas setiap proses demokrasi?
Beberapa unsur seperti Forum Dosen (Fordos), Obrolan Meja Bundar (OMB),
dan beberapa lembaga diskusi yang biasanya dimotori oleh media, sungguh sangat
diharapkan dapat memberikan pencerahan-pencerahan dan menghentikan lakon
fatalistik yang disajikan oleh opera sabun van timsel ini. Juga sangat diharapkan adanya keterlibatan
Komisi Informasi Publik (KIP) untuk mengadvokasi gerakan-gerakan mahasiswa yang
mendorong transparansi dan akuntabilitas dari para timsel.
Kita
masih bisa tertawa ketika menyaksikan Opera van Java di televisi, tapi masihkah
kita bisa tidak bermimpi buruk ketika lakon fatalistik dari para timsel KPUD di
Sulsel ini menjadi awal rangkaian kesakitan dan kematian demokrasi hingga 5
tahun ke depan!
Oleh: Risma Niswaty (Dosen UNM)
Oleh: Risma Niswaty (Dosen UNM)
Comments