Reformasi telah bergulir 14 tahun lalu. Perubahan sepertinya masih dalam angan-anganpara pemuda di negeri ini. Potret buram kondisi pemuda masih nampak jelas di depan kita. Sebagian diantara mereka (putra- putri bangsa ini) yang telah mengharumkan nama bangsa di kanca internasional dengan berbagai torehan prestasi. Namun, tidak sedikit juga pemuda- pemudi yang terlilit dalam berbagai persoalan social. Misalnya, tercorengnya dunia pendidikan di berbagai perguruan tinggi yakni budaya tawuran antar mahasiswa, pergaulan bebas, dan penyalagunaan narkotika.
Dalam usia 14 tahun Reformasi, tidak benar-benar mencerminkan adanya proses pendewasaan, penguatan intelektualisme terhadap pemuda. Justru yang terjadi sebaliknya-yakni jiwa nasionalisme seperti terabaikan, serta terkikisnya jiwa kritis dikalangan pemuda Indonesia secara umum. Bahkan peran pemuda tak Nampak lagi dalam memperkokoh Bihneka tunggak ika, apalagi menegakkan nilai-nilai demokrasi. Contohnya, perselisihan antara etnis (kedaerahan) masih kerap terjadi di negeri ini. Tidak sedikit generasi yang tewas dalam pertentangan ini.
Reformasi yang diharapkan adalah memunculkan peram pemuda dalam tatanan social, budaya, politik, dan pemerintahan yang berkeadilan, sejahtera untuk rakyat. Untuk bangsa ini. Namun, fenomena yang tergambar saat ini adalah nasionalisme seperti berada di titik nadir. Memang, kita tidak serta merta membebankan kegagalan ini pada kaum muda, melainkan penerapan sisitem kebijakan pemerintah belum singkrong dengan kondisi social kemasyarakatan. Dimana semua kebijakan terkesan masih berkiblat pada neoliberalisme, sehingga kesejahteraan rakyat jauh dari cita- cita pendiri bangsa.
Seiring berjalannya reformasi, moralitas bangsa ini mencapai titik kulminasi terendah. Dimana salah satu faktornya adalah maraknya kasus korupsi. Korupsi bukan hanya menjadi bagian dari budaya, tetapi juga telah menjadi bagian dari mata pencaharian. Apalagi beberapa kasus korupsi yang terungkap seperti Simulator SIM di yang melibatkan jenderal bintang dua di Markas besar kepolisian RI, kasus Wisma Atlet, Hambalang, dan sejumlah kasus lainnya, masih sangat erat dengan kekuasaan. Artinya, perilaku korupsi ini tidak lepas dari kepentingan kekuasaan.
Dari berbagai persoalan yang mengungkung perjalanan reformasi ini, apa kita harus bicara siapa yang patuh disalahkan?. Pemerintah telah mendesaian berbagai kebijakan sebagai langkah untuk mengatur tatanan kehidupan bangsa ini. Ruang demokrasi masih sangat terbuka lebar dalam menyalurkan aspirasi, bahkan pemerintah melegalkan system globalisasi (Pasar bebas) yang banyak memberikan dampak baik positif maupun negative. Kita tak boleh mengkambinghitamkan pemerintah atas semua kekacauan yang melanda negeri ini.
Tapi, tidak adil juga jika melemparkan kesalahan sepenuhnya kepada pemuda yang sebenarnya mereka sendiri berada dalam proses pencarian jati diri. Apalagi kita menyalahkan Globalisasi yang mendatangkan banyak hal baru. Menurut A. G. McGrew bahwa globalisasi mengacu pada keserbaragaman hubungan dan saling keterkaitan antar masyarakat yang membentuk sistem dunia modern. Globalisasi adalah proses dimana berbagai peristiwa, keputusan dan kegiatan di belahan dunia yang satu dapat membawa konsekuensi penting bagi berbagai individu dan masyarakat di belahan dunia yang lain.
Karena itu, untuk mewujudkan cita-cita reformasi yang seutuhnya, pemuda harus lebih berperan seiring dengan kebijakan pemerintah dalam pengelolaan sumber daya. Pemuda secara kulturalmerupakan produk sistem nilai yang mengalami proses pembentukan kesadaran dan pematangan identitas dirinya sebagai aktor penting perubahan. Menurut Nietzsche, dalam The Birth of Tragedy, menjelaskan bahwa generasi yang berani membela kaum tertindas dengan bertindak tegas.
Sebenarnya yang dimaksud Nietzsche sudah dilakuakan sejak perjuangan reformasi atau ketika melawan rezim orde baru. Namun, pasca runtuhnya rezim Suharto, hal yang paling memprihatinkan adalah reformasi gagal melakukan kaderisasi pemimpin nasional. Mari kita bayangkan sebuah generasi yang sedang bangkit dengan tatapan tak gentar, kecenderungan berpikir heroik.
Kondisi ini dipengaruhi oleh merebaknya kelompok pragmatis, dan oportunis dalam ruang demokrasi seperti yang terjadi sekarang ini. Hal ini, juga terjadi di beberapa partai politik baik partai yang lama maupun partai baru. Kita ketahui bahwa partai politik merupakan salah satu pilar demokrasi, yang berorientasi pada kaderisasi sebagai upaya regenerasi kepemimpinan nasional. Namun, harapan ini berseberangan dengan subtansi system kepartaian-yaitu partai lebih cenderung pragmatis dan transaksional.
Untuk menciptakan regenerasi kepemimpinan nasional, cara strategis yang harus dilakukan adalah pengaturan mekanisme demokrasi untuk mendistribusikan dan mengalokasikan sumber daya manusia (SDM). Baik dalam lingkup birokrasi pemerintahan, swasta, dan partai politik. Untuk kalangan birokrasi pemerintahan harus ada mekanisme internal berupa penguatan kopotensi, kapasitas intelektual untuk perubahan. Begitu juga dengan partai politik yakni proses kaderisasi sehingga ada proses penguatan dalam alih generasi.
Membiarkan tidak adanya alih generasi kepemimpinan akan membuat bangsa ini timpang. Sebab, jika tidak ada yang dipersiapkan maka akan terjadi krisis kader pemimpin nasional. Faktor mendasar kegagalan reformasi dalam mentransformasi kaderisasi kepemimpinan nasional adalah kurangnya SDM dan minimnya kader partai politik yang memiliki pemahaman ideologi secara tegas dan konsisten.
“Pemuda harus bangkit dari segala keterpurukan zaman, mengambil peran strategis untuk memajukan tatanan kehidupan berbangsa demi terciptanya perubahan nasional. Untuk rakyat, untuk bangsa, untuk kita semua Indonesiaku”.
MAKASSAR, 24 September 2012
SAHRUL
Comments