Skip to main content

Kelapa Sawit, Berkah atau Masalah?

Sejarah perkebunan adalah sejarah kepedihan. Komoditas perkebunan membuat bangsa ini dijajah. Nilainya yang tinggi membuat semua bangsa tergiur menguasainya. Sejarah mencatat bagaimana keuntungan besar diraih korporasi kartel VOC.

Tanam paksa memberi Belanda uang 830 juta gulden. Agrarisch Wet 1870 adalah cikal bakal perusahaan perkebunan besar yang roh dan jiwanya hingga sekarang masih hidup, seperti dapat dilihat dalam struktur ekonomi dualistik. Dalam struktur ini, kehidupan perusahaan besar dengan manajemen dan organisasi modern berdampingan dengan perkebunan rakyat yang dilaksanakan oleh para pekebun kecil yang sederhana dan "tradisional".

Pada 1970-an, pemerintah mengembangkan perkebunan besar badan usaha milik negara yang memakai utang luar negeri. Pola perusahaan inti rakyat perkebunan dikembangkan. Pada 1980-1990-an awal perusahaan besar swasta mulai masuk, didukung oleh program Perkebunan Besar Swasta Nasional dengan skema bank berbunga rendah. 



Peran pemerintah mendorong perkebunan besar, BUMN, dan swasta sangat besar. Luas area kelapa sawit milik BUMN dan swasta pada 1968 masing-masing hanya 79 ribu dan 41 ribu hektare. Pada 2006, dari 5,6 juta hektare perkebunan kelapa sawit, 57 persen dikuasai swasta, 30 persen rakyat, dan 13 persen negara. Dominasi perkebunan swasta hanya ada di sawit.

Peran pemerintah dalam mendorong perkebunan rakyat relatif kecil. Berbeda sikapnya terhadap korporasi swasta, perbankan kurang bersahabat dengan petani, bahkan sering dikatakan petani tidak bankable. Kenyataannya, perkebunan rakyat jadi tulang punggung penerimaan negara dan penyerapan tenaga kerja. Sebagai gambaran, area kakao rakyat kini sekitar 700 ribu hektare, kebun karet rakyat 3,5 juta hektare, dan kelapa 3,7 juta hektare. Saat ini sekitar 80 persen area perkebunan dikuasai rakyat, sedangkan sisanya oleh swasta dan BUMN. Selain sawit, perkebunan rakyat mendominasi. Rakyatlah yang jadi real investor-nya.



Kemajuan perkebunan kelapa sawit sesungguhnya berkat dorongan pemerintah dengan segala perangkat kebijakannya, mulai lahan hingga pembiayaan yang disubsidi. Saat ini, dengan lahan 5,6 juta hektare dan produksi CPO 16 juta ton, Indonesia jadi eksportir CPO terbesar kedua di dunia dengan pangsa 37 persen (11,3 juta ton CPO). Malaysia masih menguasai 42 persen pasar internasional. Dari produksi CPO 14,7 juta ton pada 2006, Malaysia mengekspor 13,5 juta ton. Selama bertahun-tahun sawit menjadi andalan ekspor.

Seperti tebu, kelapa sawit adalah "komoditas emas". Dari sawit bisa dihasilkan puluhan produk turunan bernilai tinggi, baik pangan maupun nonpangan. Dibanding Malaysia, dalam hal sawit Indonesia memiliki sejumlah keunggulan komparatif. Pertama, Indonesia memiliki lahan dan tenaga kerja melimpah. Saat ini ada lahan 9,2 juta hektare, yang bisa diperluas menjadi 18 juta hektare. Perluasan lahan sawit Malaysia mentok. Kedua, biaya produksi CPO Indonesia lebih rendah daripada Malaysia. Dari studi ADB (1993), Indonesia memiliki daya saing lebih tinggi ketimbang Malaysia dan Papua Nugini. Bahkan studi Oil World (1998) memperkirakan Indonesia menyalip Malaysia pada 2010.

Sayang, keunggulan itu belum digali maksimal dengan menjadikannya komoditas primadona dalam menangguk devisa sehingga bisa menjadi solusi masalah pengangguran dan kemiskinan. Sejak zaman baheula, industri sawit tidak mengalami kemajuan berarti. Di tingkat petani rakyat, sawit berhenti sebagai aktivitas budi daya (on-farm) yang bernilai tambah kecil. Industri hilir (off-farm) yang mengolah sawit didominasi minyak goreng serta sedikit margarin, sabun, dan detergen. Sebagian besar kita mengekspornya dalam bentuk CPO yang value added-nya kecil. Dari 16 juta ton produksi CPO pada 2006, sebanyak 11,5 juta ton diekspor.

Sebaliknya, selain mengekspor CPO, Malaysia mengolahnya menjadi berbagai produk hilir bernilai tinggi. Malaysia unggul dalam produktivitas (3,21 ton CPO per hektare per tahun) ketimbang Indonesia (2,51 ton CPO per hektare per tahun). Malaysia juga berjaya karena ditopang 422 pabrik pengolahan, sedangkan Indonesia hanya 323 pabrik. Perbedaan ini mengakibatkan Malaysia mampu memanfaatkan 87 persen kapasitas pabrik terpasangnya yang mencapai 86 juta ton tandan buah segar (TBS) per tahun, sedangkan Indonesia 65 juta ton TBS per tahun.

Dampak kekurangan pabrik pengolah sawit di Indonesia tidak hanya pada daya saing yang rendah untuk produksi dan ekspor CPO, tapi juga mengakibatkan berdirinya pabrik-pabrik pengolahan CPO tanpa memiliki lahan sawit. Ini membuat jumlah produksi minyak sawit, kualitas produksi, dan harga tidak mampu diprediksi serta dikontrol dengan baik. Kondisi inilah yang mendukung perbedaan produksi dan ekspor kedua negara.

Sebetulnya, kerangka pikir yang dibangun oleh masyarakat perkebunan sawit kita merefleksikan kepentingan korporasi perkebunan besar. Pola pengembangannya menganut pola perkebunan berstruktur integrasi vertikal, yaitu pemilik pabrik pengolahan juga memiliki lahan perkebunan. Persoalan integrasi vertikal ini perlu dipelajari betul. 


Kita dapat belajar dari perusahaan seperti Nestle, yang memproduksi kopi, cokelat, dan lain-lain tanpa memiliki kebun kopi atau cokelat. Pabrik rokok pun demikian. Negara mendapat lebih dari Rp 35 triliun per tahun dari cukai rokok yang bahan bakunya dari petani tembakau dan cengkeh. Tapi sawit mayoritas diekspor dalam bentuk mentah (CPO).

Integrasi vertikal antara kebun dan pabrik pengolahan yang menggunakan luas lahan tidak terbatas akan menciptakan spatial monopoly. Di sektor hilir, industri olevin dan minyak goreng hanya dikuasai satu-dua perusahaan besar dengan penguasaan pangsa pasar yang besar pula. Pengaruh kuat dari sekelompok pengusaha yang memegang monopoli industri hulu kelapa sawit membuat industri hilir sawit tidak berkembang. Bagi pendatang baru, struktur monopolis ini sama artinya dengan entry barrier. Karakter monopoli ini tak hanya membuat perusahaan tidak efisien, tapi juga tidak kreatif dan inovatif.

Sebulan lebih harga minyak goreng melonjak tinggi. Petani sawit dan pengusaha pengolah sawit bersorak. Mereka menikmati harga yang tinggi. Tapi konsumen menjerit dan pemerintah pusing karena harga minyak goreng yang tinggi bisa mendongkrak inflasi. Sejumlah formula digulirkan, dari operasi pasar, kenaikan pajak ekspor, hingga subsidi. Ini solusi klasik yang diulang-ulang sejak 1990-an. Sampai sekarang kita belum mau menyusun solusi komprehensif agar rutinitas kenaikan harga minyak goreng tidak berulang. Berbeda dengan Malaysia. 


Dulu, negeri jiran itu berguru industri sawit kepada kita. Secara gradual, Malaysia membuat kebijakan sawit yang komprehensif, dari pembiayaan hingga riset, pasar, dan kelembagaan. Kini Malaysia berjaya, sedangkan Indonesia menjadi runner up dan tiap tahun diguncang masalah harga minyak goreng. Sebetulnya, kelapa sawit adalah berkah luar biasa. Namun, karena tidak becus, sawit menjadi sumber masalah.

Sumber: TEMPO.co, Khudori, PEMERHATI MASALAH SOSIAL-EKONOMI PERTANIAN

Comments

Popular posts from this blog

Menakar Peluang Tiga Pasangan Cagub Sultra

Kompetisi awal telah usai. Tiga pasangan calon gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) telah mastikan diri sebagai kontestan dalam gelanggang pemilihan gubernur (Pilgub) 2018 setelah menyerahkan tiket ke KPUD Sultra. Mereka adalah Ali Mazi-Lukman Abunawas ( AMAN), Rusda Mahmud-Sjafei Kahar ( RM-SK) dan Asrun-Hugua ( SURGA). Tiga pasangan calon gubernur (Cagub) ini disokong oleh kekuatan besar di republik ini. AMAN merepresentasi kekuatan Airlangga Hartato sebagai Ketua Umum Partai Golkat, Surya Paloh sebagai Ketua Partai Nasdem. Pasangan RM-SK merepresentasi kekuatan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, Muhaimin Iskandar sebagai Ketua Umum PKB. Dan SURGA juga dibekingi dua kekuatan besar yaitu Joko Widodo (Presiden aktif) dan Mega Wati Soekarno Putri yang juga mantan Presiden sekaligus Ketua Umum PDI Perjuangan, termasuk Zulkifli Hasan Ketua Umum PAN yang juga mumpuni ketokohannya. Tapi, ada hal yang menggelitik dalam koalisi gemuk pasangan c...

“Kerinduan”

Ia tetap abadi. Selalu hidup sepanjang zaman—juga di alam Bakah nan abadi. Hidup tak berarti selamanya nyata--hanya bisa dilihat; disaksikan oleh dua bola mata Manusia. Bahkan tak ada mati sesungguhnya. Melainkan sebuah perjalanan panjang menuju ke alam yang kekal—sebuah alam tempat berpulangnya semua yang hidup, yang bernyawa. Itulah alam sang Khalik. Dia perempuan yang aku cintai, juga saudara-saudaraku, terutama ayahku. Keluarga besarku, dan para kerabat, juga mencintainya. Dia lah perempuan yang kami rindukan, yang mereka rindukan. Ibu kami tercinta; kini engkau telah pergi dan tak mungkin kembali lagi. Engkau tak mati—selalu hidup, hidup bersama kami, bersama orang-orang yang menyayangimu. Kematian menjadi momen yang mengangumkan bagimu, tetapi tidak benar-benar istimewa bagi yang ditinggalkan di dunia. Isak tangis, sedih membelenggu hingga di jiwa seolah tak merelakan kepergianmu.  “Kita bisa melakukan apa saja yang kita inginkan di dunia Hingga pada waktunya, saya, dia,...

Lampu Merah Nyawa Bocah Jalanan

Memegang secarik kertas atau koran, bocah-bocah itu berlarian menghampiri pengguna jalan yang berhenti sejenak karena lampu merah. Tersenyum tipis bocah ini menawarkan koran atau kertas yang disimpanya dalam map merah bertuliskan bantuan untuk panti asuhan kepada para pengendara mobil dan motor. "Minta uangnya pak. Beli koran pak, harganya seribu rupiah," begitu kata-kata Boy, salah satu bocah 3 tahun, saat menawarkan koran atau meminta sumbangan kepada para dermawan. Entah bagaimana bocah malang ini bisa mendapatkan koran atau kertas daftar sumbangan panti asuhan itu???. Dengan percaya diri, setiap kali pergantian lampu rambu lalulintas, serentak mendatangi satu persatu para pengemudi itu. Demi mendapatkan uang, bocah ini tak lagi mempedulikan keselamatanya ketika berjalan ditengah ratusan kendaraan yang melintas di jalan itu. Apakah ini tindakan konyol tak berguna atau karena pikiran mereka yang masih polos sehingga uang seribu jauh lebih berharga daripada nyawanya. Dari ...