Untuk apa Jurnalisme sastrawi???. Bagi jurnalis amatlah penting untuk mengetahui apa sebenarnya makna jurnalisme sastrawi, untuk apa, dan siapa saja yang bisa menggunakannya. Sebelum saya masuk dalam pokok pembicaraan; saya akan menyatakan bahwa “Jurnalisme Sastrawi adalah Seni Menulis secara sistematis”.
Jurnalisme sastrawi hingga kini masih diperdebatkan oleh kebanyakan orang. Sebab, masing-masing pihak memiliki pandangan tersendiri. Misalnya, bagaimana cara menuliskan laporan sebuah peristiwa atau hasil investigasi suatu kasus, cara mengumpulkan bahan, dan bagaimana teknik reportasenya.
Andreas Harsono misalnya. Dia merupakan salah seorang yang memperkenalkan narasi jurnalisme sastrawi di Indonesia. Dengan gaya bahasa sastra, naratif, dan deskriptif, ia menuliskan secara detail laporan sebuah peristiwa, atau hasil investigasinya tentu saja. Dalam penulisan jurnalisme sastrawi tidak cukup dengan 5 W 1 H, melainkan mendalami, mengembangkan suatu masalah sehingga menjadi karya jurnalistik yang dapat menarik simpatik, empati pembaca.
Sementara Seno, salah seorang pakar jurnalisme sastrawi juga memiliki pendapat lain. Seno, dalam menulis narasi jurnalisme sastrawi seolah-olah tidak mengungkapkan fakta atau mencoba memfiksikan hasil liputan jurnalistiknya. Meski yang ia tulis adalah hasil liputan jurnalistik, tapi karena ia menuliskannya sebagai fiksi. Apaakah ini bisa disebut jurnalisme sastrawi???.
Disinilah letak-letak perdebatan jurnalisme sastrawi. Menurut saya, semua pendapat jurnalisme sastrawi pada dasarnya sama. Adalah melakukan pengamatan atau reportase secara mendalam, tetap menggunakan teknik 5 W 1 H, melakukan rekonstruksi masalah (Jika kita sedang melakukan investigasi), dan menuliskannya secara detail dengan gaya sastra, naratif, deskriptif, dan dapat mempengaruhi emosional pembaca.
Barangkali inilah sebabnya Seno dalam menyusun narasi jurnalisme sastrawi seolah-olah tak ada faktanya. Ia melibatkan imajinasinya terhadap bahan liputan jurnalistiknya. Hal ini tak bisa disalahkan. Alasannya, penulisan jurnalistiknya lebih cair, dalam, naratif, dikemas dengan gaya bahasa sastra, layaknya sebuah novel.
Jurnalisme sastrawi berkembang di Amerika Serika pada 1962 oleh Tom Wolfe. Tom memperkenalkan genre ini dengan nama “new journalism”. Wolfe dan Johnson menganggap genre ini berbeda dari reportase sehari-hari karena dalam benrtutur ia menggunakan adegan demi adegan (scene by scene construction), reportase yang menyeluruh (immersion reporting), menggunakan sudut pandang orang ketiga (third person point of view), serta penuh dengan detail.
Dalam konteks bahasan tentang jurnalisme sastrawi di Indonesia diawali dari Tempo, dengan mengutip pernyataan Goenawan Mohammad. Tempo lahir dengan menyajikan cara dan gaya penulisan yang benar-benar sangat berbeda dengan yang lain. Misalnya, penggunaan bahasa Indonesia, penyusunan struktur kalimat, pemilihan kata, penggunaan ejaan, dan gaya pengungkapan dengan gaya sastra sehingga sangat mudah dipahami oleh pembaca.
Model jurnalisme yang mulai muncul pada tahun 1970 ini sebenarnya memiliki sebutan yang berbeda di beberapa media Indonesia. Ada yang menyebutnya berita basah (Tempo) atau tulisan yang 'nyemek' (Suara Merdeka). Apapun itu, tulisan yang dihasilkan haruslah lebih berbobot, baik dari segi isi, kedetailan berita, hingga gaya penyajian yang membuat pembaca enggan berhenti.
Menurut saya, catatan pinggir yang ditulis oleh Goenawan Di Majalah Tempo, merupakan karya jurnalistik sastrawi. Kita bisa membaca dan berusaha memahami gaya penulisannya, pemilihan kata, struktur kalimatnya, dan isinya, sangatlah sistematis, dan rekonstruktif.
Penggunaan bahasa jurnalistik atau jurnalisme sastrawi Koran Tempo terpilih sebagai media cetak dengan penggunaan bahasa Indonesia terbaik oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Tempo menyisihkan 45 media cetak berskala nasional yang masuk nominasi. Untuk nominasi ke dua ditempati Kompas, kemudian disusul Media Indonesia, Republika, dan Pikiran Rakyat. Namun, pada prinsipnya bahwa segala tulisan yang dikemas dalam gaya sastra, mendalam, adalah begitulah yang dimaksud dengan “Jurnalisme Sastrawi”.
Jurnalisme sastrawi hingga kini masih diperdebatkan oleh kebanyakan orang. Sebab, masing-masing pihak memiliki pandangan tersendiri. Misalnya, bagaimana cara menuliskan laporan sebuah peristiwa atau hasil investigasi suatu kasus, cara mengumpulkan bahan, dan bagaimana teknik reportasenya.
Andreas Harsono misalnya. Dia merupakan salah seorang yang memperkenalkan narasi jurnalisme sastrawi di Indonesia. Dengan gaya bahasa sastra, naratif, dan deskriptif, ia menuliskan secara detail laporan sebuah peristiwa, atau hasil investigasinya tentu saja. Dalam penulisan jurnalisme sastrawi tidak cukup dengan 5 W 1 H, melainkan mendalami, mengembangkan suatu masalah sehingga menjadi karya jurnalistik yang dapat menarik simpatik, empati pembaca.
Sementara Seno, salah seorang pakar jurnalisme sastrawi juga memiliki pendapat lain. Seno, dalam menulis narasi jurnalisme sastrawi seolah-olah tidak mengungkapkan fakta atau mencoba memfiksikan hasil liputan jurnalistiknya. Meski yang ia tulis adalah hasil liputan jurnalistik, tapi karena ia menuliskannya sebagai fiksi. Apaakah ini bisa disebut jurnalisme sastrawi???.
Disinilah letak-letak perdebatan jurnalisme sastrawi. Menurut saya, semua pendapat jurnalisme sastrawi pada dasarnya sama. Adalah melakukan pengamatan atau reportase secara mendalam, tetap menggunakan teknik 5 W 1 H, melakukan rekonstruksi masalah (Jika kita sedang melakukan investigasi), dan menuliskannya secara detail dengan gaya sastra, naratif, deskriptif, dan dapat mempengaruhi emosional pembaca.
Barangkali inilah sebabnya Seno dalam menyusun narasi jurnalisme sastrawi seolah-olah tak ada faktanya. Ia melibatkan imajinasinya terhadap bahan liputan jurnalistiknya. Hal ini tak bisa disalahkan. Alasannya, penulisan jurnalistiknya lebih cair, dalam, naratif, dikemas dengan gaya bahasa sastra, layaknya sebuah novel.
Jurnalisme sastrawi berkembang di Amerika Serika pada 1962 oleh Tom Wolfe. Tom memperkenalkan genre ini dengan nama “new journalism”. Wolfe dan Johnson menganggap genre ini berbeda dari reportase sehari-hari karena dalam benrtutur ia menggunakan adegan demi adegan (scene by scene construction), reportase yang menyeluruh (immersion reporting), menggunakan sudut pandang orang ketiga (third person point of view), serta penuh dengan detail.
Dalam konteks bahasan tentang jurnalisme sastrawi di Indonesia diawali dari Tempo, dengan mengutip pernyataan Goenawan Mohammad. Tempo lahir dengan menyajikan cara dan gaya penulisan yang benar-benar sangat berbeda dengan yang lain. Misalnya, penggunaan bahasa Indonesia, penyusunan struktur kalimat, pemilihan kata, penggunaan ejaan, dan gaya pengungkapan dengan gaya sastra sehingga sangat mudah dipahami oleh pembaca.
Model jurnalisme yang mulai muncul pada tahun 1970 ini sebenarnya memiliki sebutan yang berbeda di beberapa media Indonesia. Ada yang menyebutnya berita basah (Tempo) atau tulisan yang 'nyemek' (Suara Merdeka). Apapun itu, tulisan yang dihasilkan haruslah lebih berbobot, baik dari segi isi, kedetailan berita, hingga gaya penyajian yang membuat pembaca enggan berhenti.
Menurut saya, catatan pinggir yang ditulis oleh Goenawan Di Majalah Tempo, merupakan karya jurnalistik sastrawi. Kita bisa membaca dan berusaha memahami gaya penulisannya, pemilihan kata, struktur kalimatnya, dan isinya, sangatlah sistematis, dan rekonstruktif.
Penggunaan bahasa jurnalistik atau jurnalisme sastrawi Koran Tempo terpilih sebagai media cetak dengan penggunaan bahasa Indonesia terbaik oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Tempo menyisihkan 45 media cetak berskala nasional yang masuk nominasi. Untuk nominasi ke dua ditempati Kompas, kemudian disusul Media Indonesia, Republika, dan Pikiran Rakyat. Namun, pada prinsipnya bahwa segala tulisan yang dikemas dalam gaya sastra, mendalam, adalah begitulah yang dimaksud dengan “Jurnalisme Sastrawi”.
Comments