Masih ingat kan kalian nama MalcolmX? tanya Ade Armando, ke peserta workshop “Jurnalis untuk isu keberagaman”. Silahkan angkat tangan kalau ada yang tahu, katanya lagi. Tak ada nada memaksa saat itu, tapi ia benar-benar gagal mendapatkan jawaban.
Ade, demikian sapaan Ade Armando, hadir sebagai pembicara dalam workshop ini. Ia menuliskan nama MalcomX di white Board sambil bertutur “Dia (MalcomX) seorang muslim kulit hitam yang pertama kali memperjuangkan hak kulit hitam di Afrika-Amerika”.
Mengapa MalcomX jadi contoh dalam pelatihan ini, kata Ade kepada para peserta yang umumnya berprofesi sebagai jurnalis. Menurut dia, isu keberagaman erat kaitannya dengan istilah kelompok masyoritas dan minoritas. Seperti, tersisihnya kelompok kulit hitam oleh kulit putih di Afrika-Amerika.
Tidak hanya soal rasis dalam isu keberagaman, dia melanjutkan. Melainkan, agama, gender, organisasi, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan hak asasi manusia. Ini sangat rentan dengan konflik, dia menuturkan. Untuk meminimalisir adanya diskriminasi dalam isu keberagaman, peran media sangat dibutuhkan.
Serikat jurnalis untuk isu keberagaman (Sejuk) menyelenggarakan workshop ini bertujuan untuk memberikan trik kepada para jurnalis bagaimana meliput sesuatu yang bersifat kontroversial. Seperti, kasus penyerangan kelompok Ahmadiyah, pemerkosaan, gender. Jika jurnalis tidak pandai-pandai menempatkan diri dalam isu ini, termasuk pemilihan kata atau ungkapan dalam naskah berita yang ditulis, maka potensi konfliknya sangat besar.
Ade yang juga Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia ini mencontohkan ungkapan dalam judul berita yang bersifat diskriminatif dan dapat memicu konflik; “Siswi SMP Diperkosa Lima Pemuda ” “FPI Serang Kelompok Ahmadiyah, Satu Tewas” “Copot Polisi Kristen Pembantai Umat Islam dalam Kerusuhan Ambon!!” (13 September 2011).
Ungkapan seperti ini yang perlu dihindari oleh seorang jurnalis. Banyak ungkapan yang bisa digunakan untuk menyebutkan peristiwa tersebut. Mislanya “Siswi SMP Diperkosa Lima Pemuda”. Ungkapan ini bisa diperhalus menjadi “Lima Pemuda Gagahi Siswi SMP”.
Begitu juga dengan konflik atas nama agama. Misanya FPI yang menolak keberadaan Ahmadiyah. Aksi penolakan FPI kerap dilakukan dengan aksi kekerasan fisik terhadap anggota Ahmadiyah. Mereka (FPI) semakin menjadi-jadi ketika disorot kamera jurnalis TV dan pemberitaan Koran, dan media on line.
Dalam isu keberagaman, jurnalis dituntut agar lebih professional dalam melaksanakan tugas jurnalistiknya. Termasuk menentukan keberpihakannya. Perlu diketahui bahwa FPI adalah organisasi masyarakat yang anggotanya orang Islam, begitu juga dengan Ahmadiyah. Bahkan, keberadaan Ahmadiyah lebih dulu dari FPI.
Dalam Islam, sangat dikenal dengan sifat toleransi, begitu juga dengan agama lain. Tak ada satu pun agama yang mengajarkan untuk menghukum kelompok minoritas. MalcomX, misalnya. Ia mengkhiri kebenciannya terhadap kulit putih setelah melaksanakan ibadah haji ke Mekkah. Ia baru tahu ajaran Islam yang sesungguhnya bahwa kebencian terhadap ras merupakan pemikiran yang keliru. “Islam tidak membeda-bedakan warna kulit,”
X adalah simbol yang dipakai pengikut Black Muslims untuk menyatakan bahwa mereka adalah generasi yang hilang. Manusia yang tercerabut dari asal-usulnya akibat perdagangan manusia yang dilakukan oleh orang kulit putih. Mereka diculik dari Afrika, dibawa dan dijual di Amerika sebagai budak. Begitu bencinya para Black Muslim terhadap kulit putih. Namun, ketika Malcom menyatakan tidak lagi membenci kulit hitam, dia pun dibunuh. Karena dia dianggap sebagai orang yang berhianat.
Dalam workshop ini banyak menunai perdebatan sesama perseta dan narasumber. Sebagian kawan jurnalis secara tegas menolak konsep keberagaman yang diterapkan oleh Sejuk dan pembicara. Alasannya, bertentangan dengan nilai Islam, atau terkesan liberal. Misalnya Ahmadiyah, dianggap aliran agama yang bertentangan dengan Islam, yakni memiliki nabi sendiri.
Tapi, menurut Ade, sebagai jurnalis tetap menunjukan keberpihakan dengan tidak menjustifikasi pemberitaan yang tidak benar dan tidak akurat. Jurnalis tidak bisa menjadi agen propaganda yang menyebarkan kabar bohong atau bahkan membangun kesan yang menyesatkan
Mengapa MalcomX jadi contoh dalam pelatihan ini, kata Ade kepada para peserta yang umumnya berprofesi sebagai jurnalis. Menurut dia, isu keberagaman erat kaitannya dengan istilah kelompok masyoritas dan minoritas. Seperti, tersisihnya kelompok kulit hitam oleh kulit putih di Afrika-Amerika.
Tidak hanya soal rasis dalam isu keberagaman, dia melanjutkan. Melainkan, agama, gender, organisasi, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan hak asasi manusia. Ini sangat rentan dengan konflik, dia menuturkan. Untuk meminimalisir adanya diskriminasi dalam isu keberagaman, peran media sangat dibutuhkan.
Serikat jurnalis untuk isu keberagaman (Sejuk) menyelenggarakan workshop ini bertujuan untuk memberikan trik kepada para jurnalis bagaimana meliput sesuatu yang bersifat kontroversial. Seperti, kasus penyerangan kelompok Ahmadiyah, pemerkosaan, gender. Jika jurnalis tidak pandai-pandai menempatkan diri dalam isu ini, termasuk pemilihan kata atau ungkapan dalam naskah berita yang ditulis, maka potensi konfliknya sangat besar.
Ade yang juga Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia ini mencontohkan ungkapan dalam judul berita yang bersifat diskriminatif dan dapat memicu konflik; “Siswi SMP Diperkosa Lima Pemuda ” “FPI Serang Kelompok Ahmadiyah, Satu Tewas” “Copot Polisi Kristen Pembantai Umat Islam dalam Kerusuhan Ambon!!” (13 September 2011).
Ungkapan seperti ini yang perlu dihindari oleh seorang jurnalis. Banyak ungkapan yang bisa digunakan untuk menyebutkan peristiwa tersebut. Mislanya “Siswi SMP Diperkosa Lima Pemuda”. Ungkapan ini bisa diperhalus menjadi “Lima Pemuda Gagahi Siswi SMP”.
Begitu juga dengan konflik atas nama agama. Misanya FPI yang menolak keberadaan Ahmadiyah. Aksi penolakan FPI kerap dilakukan dengan aksi kekerasan fisik terhadap anggota Ahmadiyah. Mereka (FPI) semakin menjadi-jadi ketika disorot kamera jurnalis TV dan pemberitaan Koran, dan media on line.
Dalam isu keberagaman, jurnalis dituntut agar lebih professional dalam melaksanakan tugas jurnalistiknya. Termasuk menentukan keberpihakannya. Perlu diketahui bahwa FPI adalah organisasi masyarakat yang anggotanya orang Islam, begitu juga dengan Ahmadiyah. Bahkan, keberadaan Ahmadiyah lebih dulu dari FPI.
Dalam Islam, sangat dikenal dengan sifat toleransi, begitu juga dengan agama lain. Tak ada satu pun agama yang mengajarkan untuk menghukum kelompok minoritas. MalcomX, misalnya. Ia mengkhiri kebenciannya terhadap kulit putih setelah melaksanakan ibadah haji ke Mekkah. Ia baru tahu ajaran Islam yang sesungguhnya bahwa kebencian terhadap ras merupakan pemikiran yang keliru. “Islam tidak membeda-bedakan warna kulit,”
X adalah simbol yang dipakai pengikut Black Muslims untuk menyatakan bahwa mereka adalah generasi yang hilang. Manusia yang tercerabut dari asal-usulnya akibat perdagangan manusia yang dilakukan oleh orang kulit putih. Mereka diculik dari Afrika, dibawa dan dijual di Amerika sebagai budak. Begitu bencinya para Black Muslim terhadap kulit putih. Namun, ketika Malcom menyatakan tidak lagi membenci kulit hitam, dia pun dibunuh. Karena dia dianggap sebagai orang yang berhianat.
Dalam workshop ini banyak menunai perdebatan sesama perseta dan narasumber. Sebagian kawan jurnalis secara tegas menolak konsep keberagaman yang diterapkan oleh Sejuk dan pembicara. Alasannya, bertentangan dengan nilai Islam, atau terkesan liberal. Misalnya Ahmadiyah, dianggap aliran agama yang bertentangan dengan Islam, yakni memiliki nabi sendiri.
Tapi, menurut Ade, sebagai jurnalis tetap menunjukan keberpihakan dengan tidak menjustifikasi pemberitaan yang tidak benar dan tidak akurat. Jurnalis tidak bisa menjadi agen propaganda yang menyebarkan kabar bohong atau bahkan membangun kesan yang menyesatkan
Comments