Skip to main content

Kekejaman Reinkarnasi Ospek


Awal bulan Oktober 2011 lalu jutaan mahasiswa baru (Maba) yang masuk di seluruh perguruan tinggi negeri dan swasta deg-degan. Perasaan tak nyaman itu bukan karena baru pertama kali menginjakkan kakinya dalam dunia kampus. Tapi takut bertemu dengan calon senior yang ada di fakultasnya masing-masing. Belum hilang dari ingatan tentang kekejaman sang senior terhadap mahasiswa baru. Kekerasan yang kerap dilakukan oleh senior ini dikemas dalam bentuk kegiatan orientasi pengenalan kampus (Ospek).

Para maba ini bakal diperhadapkan dengan beragam karakter senior-seniornya. Mulai dari senior yang berkarakter lembut, setengah keras, dan keras sekali. Di mata senior, para maba ini seprti mangsa paling lezat untuk disantap. Tak jarang aksi semena-mena senior terhadap juniornya diberitakan atau dipertontokan melalui media. "Ada lagi mahasiswa baru yang tewas atau cedera dianiaya oleh seniornya." Begitu kira-kira yang pernah diberitakan sebelum-sebelumnya.


Dengan alasan inilah pihak universitas meniadakan ospek. Agar kebijakan tersebut dipatuhi, pihak kampus memberlakukan peraturan akademik tentang skorsing dan pemecatan bagi mahasiswa yang tetap melaksanakan ospek. Ini kabar gembira bagi maba dan segera bernafas legah. Sebaliknya menjadi kabar buruk bagi dan tidak menyenangkan bagi sang pendekar kampus.

Tak puas dengan kebijakan itu, para predator kampus tersebut menantang dengan meraung-raung melalui alat pengeras suara di kampusnya masing-masing. Mereka menganggap dihilangkannya ospek ini merupakan kebijakan yang mematikan kreatifitas mahasiswa dan nilai-nilai demokrasi. Penolakan mahasiswa ini tidak hanya melalui aski demonstrasi, tapi sesekali merusaki, bahkan membakar kampusnya sendiri.

Penolakan ini boleh dibilang berhasil. Sebab, pihak kampus kembali mengajak mahasiswa untuk berdialog. Dalam dialog ini terjadi tawar menawar antara mahsiswa dengan birokrasi kampus. Dan pada akhirnya bersepakat ospek dihilangkan diganti dengan nama lain yakni pencerahan mahasiswa baru. Kemeriahan mahasiswa pun bersorak usai pembacaan nota kesepahaman pergantian nama orientasi pengenalan tersebut.

Kini ospek tak ada lagi. Prosesi pengenalan mahasiswa baru dilakukan dengan kegiatan pencerahan. Namun kegiatan pencerahan ini tak bedanya dengan ospek. Sebab kesewenang-wenangan terhadap mahasiswa baru masih terjadi. Nampaknya pencerahan ini sebagai reinkarnasi dari ospek. Bentuk kekerasan dalam pencerahan ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi.

Memang sang senior memberkan materi yang berkaitan dengan pengenalan kampus, mislanya materi kemahasiswaan, keorganisasian, dan beberapa materi lainnya. Namun dibaliknya disisipkan dengan materi pembentukan mental yang dilakukan dengan cara benturan fisik. Buk.... bak... prak...begitu bunyi yang mendarat di bagian tubuh maba. Ini di istilakan dengan materi pembentukan mental.

Maba tak mampu berbuat apa-apa setelah menerima materi sadis ini. Hanya patuh, tunduk, dan hormat terhadap apa saja yang dilakukan senior. Para maba ini layaknya prajurit tentara yang sedang mengikuti pendidikan. Para senior menganggap tidak tren jika budaya kekerasan dalam dunia kampus ini tidak dilakukan. Akibatnya materi tak bermoral ini menjadi kebiasaan turun temurun dalam dunia kampus. Junior yang mendapatkan perlakuan tak manusiawi dari seniornya, juga akan dilakukan kepada calon juniornya kelak.

Budaya ini sama sekali tak memberi nilai-nilai pendidikan. Kampus yang seharusnya menjadi kiblat untuk menimba ilmu, kini berbalik menjadi arena kekerasan. Premanisme seperti mata kuliah tambahan di setiap perguruan tinggi. Masih pantaskah budaya ini dipertahankan???.

Menurut hemat saya, sebagai penulis artikel ini, kekerasan dalam bentuk apa pun yang terjadi dalam kampus harus dimusnahkan. Sebab kampus bukan tempatnya para preman, tapi tempat untuk mendapatkan pendidikan. Masih ada terminal, pasar, dan tempat hiburan jika ingin menjadi preman.
Begitu juga dengan pihak birokrasi kampus agar tidak memperlakukan mahasiswanya dengan cara-cara yang merugikan. Seperti biaya pendidikan (SPP) yang selalu dinaikan, pungutan yang tak jelas peruntukannya.

                Lima Oktober Dua Ribu Sebelas
                        By Arhul

Comments

Popular posts from this blog

Menakar Peluang Tiga Pasangan Cagub Sultra

Kompetisi awal telah usai. Tiga pasangan calon gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) telah mastikan diri sebagai kontestan dalam gelanggang pemilihan gubernur (Pilgub) 2018 setelah menyerahkan tiket ke KPUD Sultra. Mereka adalah Ali Mazi-Lukman Abunawas ( AMAN), Rusda Mahmud-Sjafei Kahar ( RM-SK) dan Asrun-Hugua ( SURGA). Tiga pasangan calon gubernur (Cagub) ini disokong oleh kekuatan besar di republik ini. AMAN merepresentasi kekuatan Airlangga Hartato sebagai Ketua Umum Partai Golkat, Surya Paloh sebagai Ketua Partai Nasdem. Pasangan RM-SK merepresentasi kekuatan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, Muhaimin Iskandar sebagai Ketua Umum PKB. Dan SURGA juga dibekingi dua kekuatan besar yaitu Joko Widodo (Presiden aktif) dan Mega Wati Soekarno Putri yang juga mantan Presiden sekaligus Ketua Umum PDI Perjuangan, termasuk Zulkifli Hasan Ketua Umum PAN yang juga mumpuni ketokohannya. Tapi, ada hal yang menggelitik dalam koalisi gemuk pasangan c...

“Kerinduan”

Ia tetap abadi. Selalu hidup sepanjang zaman—juga di alam Bakah nan abadi. Hidup tak berarti selamanya nyata--hanya bisa dilihat; disaksikan oleh dua bola mata Manusia. Bahkan tak ada mati sesungguhnya. Melainkan sebuah perjalanan panjang menuju ke alam yang kekal—sebuah alam tempat berpulangnya semua yang hidup, yang bernyawa. Itulah alam sang Khalik. Dia perempuan yang aku cintai, juga saudara-saudaraku, terutama ayahku. Keluarga besarku, dan para kerabat, juga mencintainya. Dia lah perempuan yang kami rindukan, yang mereka rindukan. Ibu kami tercinta; kini engkau telah pergi dan tak mungkin kembali lagi. Engkau tak mati—selalu hidup, hidup bersama kami, bersama orang-orang yang menyayangimu. Kematian menjadi momen yang mengangumkan bagimu, tetapi tidak benar-benar istimewa bagi yang ditinggalkan di dunia. Isak tangis, sedih membelenggu hingga di jiwa seolah tak merelakan kepergianmu.  “Kita bisa melakukan apa saja yang kita inginkan di dunia Hingga pada waktunya, saya, dia,...

Lampu Merah Nyawa Bocah Jalanan

Memegang secarik kertas atau koran, bocah-bocah itu berlarian menghampiri pengguna jalan yang berhenti sejenak karena lampu merah. Tersenyum tipis bocah ini menawarkan koran atau kertas yang disimpanya dalam map merah bertuliskan bantuan untuk panti asuhan kepada para pengendara mobil dan motor. "Minta uangnya pak. Beli koran pak, harganya seribu rupiah," begitu kata-kata Boy, salah satu bocah 3 tahun, saat menawarkan koran atau meminta sumbangan kepada para dermawan. Entah bagaimana bocah malang ini bisa mendapatkan koran atau kertas daftar sumbangan panti asuhan itu???. Dengan percaya diri, setiap kali pergantian lampu rambu lalulintas, serentak mendatangi satu persatu para pengemudi itu. Demi mendapatkan uang, bocah ini tak lagi mempedulikan keselamatanya ketika berjalan ditengah ratusan kendaraan yang melintas di jalan itu. Apakah ini tindakan konyol tak berguna atau karena pikiran mereka yang masih polos sehingga uang seribu jauh lebih berharga daripada nyawanya. Dari ...