Skip to main content

Tudingan Kapolda di Ujung Telpon

Ring...ring...ring...., tiga kali dering nada sambung pribadi telpon genggam Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan dan Barat Inspektur Jenderal Johny Wainal Usman. Halo Jenderal, maaf sebelumnya, terpaksa saya menelpon lagi. Kata saya, saat menghubungi Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan dan Barat Inspektur Jenderal Johny Wainal Usman, Rabu malam 3 Agustus lalu. Diujung telpon jenderal bintang dua ini menjawab sapaan saya dengan mengatakan, iya ada apa nih?, katanya, sambil tertawa.

Saya pun tertawa ketika itu, sambil menyapaikan beberapa pertayaan berkaitan dengan dugaan ijazah palsu Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo, yang tak kunjung usai. Pak Jenderal, dalam berita acara perkara (BAP) semua keterangan saksi berkesesuaian bahwa ijazah itu memang terdapat kejanggalan. Apa langkah anda?. Namun sebelum menjawab pertayaan itu, jenderal berkumis tebal ini kembali bertaya. Dengan siapa ini?. Saya wartawan Tempo Jenderal, kata saya lagi. Dia pun mengatakan, Apa? dari Mabes Polri? serontak terbahak hahahaha. Nampaknya dia mencandai saya ketika mendengar pertanyaan saya.


Kalau soal keterangan dalam BAP itu, kata dia, semua saksi sudah menerangkan fakta sebenarnya. Para saksi memberi kesaksian soal dugaan ijazah palsu Ichsan, tanpa ada tekanan dari siapa pun. Saksi ahli juga begitu. Namun ia meminta, kepada semua pihak untuk tidak menyikapi kasus ini dengan melibatkan kepentingan politiknya, termasuk kamu. Katanya sambil tertawan Hahaha.

Mantan Kepala Polda Papua ini, rupaya menyindir pakar hukum Profesor Hambali Thalib, dan Pengacara Syahrir Cakari. Dalam pemberitaan Tempo, soal dugaan ijazah palsu, Hambali menjadi narasumber utama mewakili suara rakyat dalam mengomentari penanganan kasus ini. Sedangkan Syahrir, juga menjadi narasumber karena ia mendampingi klienya, Gasing Daeng Kulle, tersangka dalam pembuatan ijazah Ichsan yang diduga palsu.

Jenderal dari satuan Brigadir Mobil (Brimob) ini menganggap ke duanya tidak objektif mengomentari kerja kepolisian dalam penanganan kasus tersebut. Karena polisi memiliki teknik penyelidikan dan penyidikan sendiri dalam kasus yang mulai diusut sejak tahun 2010 lalu. "Polisi lebih paham dalam penyidikan," ucapnya.

Agak kurang etis seorang Kapolda menyatakan, polisi punya teknik penyidikan sendiri dalam menangani kasus dugaan ijazah siluman tersebut. Sebab, Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, sudah empat kali mem P19 kan berkas itu ke polisi dengan petunjuk segera periksa Ichsan, sebagai pengguna. Namun, Kapolda secara tegas menyatakan, tidak akan memenuhi petunjuk jaksa itu dengan dalil, polisi punya teknik sendiri dalam penyidikan. "Jaksa boleh-boleh aja memberi petunjuk, tapi kan tidak semua harus dipenuhi," ujarnya, sembari mengatakan udah dulu yah, lagi makan nih. Berlalu sudahlah pembicaraan melalui sambungan telpon itu.

Peryataan ayah dua anak ini, dikritisi oleh praktisi hukum karena dinilai telah membuat aturan sendiri dan sangat subjektif. Menurut Pakar Hukum dari Universitas Muslim Indonesia (UMI) Profesor Hambali Thalib, kapolda telah membuat aturan di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). "Aturan darimana itu?." kata Hambali.

Tak sepantasnya seorang petinggi polisi menyatakan hal yang tidak ada dalam KUHP. Tidak ada alasan bagi penyidik kepolisian untuk tidak melaksanakan petujuk jaksa tersebut. Putunjuk itu wajib dilaksanakan untuk kelengkapan berkas perkara, dan itu sudah diatur dalam undang-undang. "Perkara tidak bisa disidangkan jika berkas perkaranya belum lengkap," ucapnya.

Peryataan bos polisi di wilayah Sulawesi Selatan dan Barat itu, terkesan sebagai alibi untuk melindungi orang yang tersangku dugaan ijazah palsu tersebut. Sebagai aparat penegak hukum harus melaksanakan perintah undang-undang secara transparan, adil, dan objektif. Jangan ada diskriminasi dalam penegakan hukum. Hukum tidak boleh tumpul kepada orang yang berkuasa dan tidak boleh tajam kepada orang lemah atau kecil. "Penegakan hukum tidak pandang bulu," ujar dosen program pasca sarjana jurusan Hukum UMI ini.

Kritikan lain datang dari praktisi hukum Syahrir Cakari. Syahrir menegaskan, peryataan Kapolda menyesatkan karena tidak sesuai dengan KUHP. Kapolda berusaha menutupi fakta hukum dengan peryataan yang tidak berdasar. "Sudahlah, jangan buat rakyat semakin teraniaya dengan penafsiran hukum yang salah," katanya.

Hasil BAP menjelaskan, bahwa kasus dugaan ijazah palsu Ichsan Yasin Limpo, pertama kali di laporkan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Gempar tahun lalu. Muhammad Dahlan, koordinator LSM itu. Dahlan melaporkan Ichsan ke Polres Gowa, karena diduga menggunakan ijazah palsu saat mencalonkan diri sebagai Bupati Gowa tahun lalu.

Dahlan tidak asal menuding adik kandung Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo, berijazah siluman. Tapi didukung dengan data-data asal muasal ijazah tersebut. Dalam data itu menyebutkan nama Gasing Daeng Kulle, sebagai pembuat ijazah Ichsan. Saat itu Gasing menjadi staf Kepala Sekolah SMP Jongaya, Ancjahani Nasir.


Kasus ini terus bergulir mengungkap satu persatu sindikat pembuatan ijazah tersebut. Misalnya, Muhammad Takdir, yang menjadi kurir pembuatan ijazah tersebut. Pada tahun 2005, saat pencalonan Ichsan pertama kali sebagai Bupati Gowa, Takdir, mengungkapkan, ijazah itu dibawah ke SMP Jongaya untuk dilegalisir, sebagai syarat pencalonan Ichsan. Ijazah itu diperlihatkan kepada Ancjhani, namun ditolak. Sebab ijazah tersebut belum tercantum nama Kepala Sekolah SMP Jongaya pada tahun 1976, Sukma Sungkeng, dan tidak pula ada tanda tangan Wali Kelas Laode Oki.


Takdir tercatat sebagai tim pemenang Ichsan saat itu. Karena ingin calonya menjadi orang nomor satu di Gowa, dia terus berjuang agar ijazah bodong itu dilegalisir. Keesokan harinya, Ancjhani menemui Wali Kelas La Oki, di kediamanya. Takdir tak mengetahui apa yang dibicarakan dalam rumah itu.

Usai pertemuan itu, Takdir diminta untuk memfoto kopi ijazah itu sebanyak 15 lembar, oleh Ancjhany. Kepala Sekolah itu, lalu memerintahkan Takdir, untuk menemui Gasing. Ketika itu, Gasing sudah mengetahui maksud kedatangan Takdir. Tanpa banyak pikir, Gasing menulikan nama Kepala Sekolah Sukma Sungkeng, dengan menggunakan pensil. Tidak hanya itu, Gasing juga menandatangani ijazah itu, yang seharusnya ditandatangani oleh Wali Kelas. Dengan mulus Takdir meloloskan misinya dan Ichsan pun lolos menjadi calon bupati.

Merujuk pada hasil BAP ini, pakar hukum pidana maupun praktisi hukum menilai sudah sangat jelas bahwa ijazah tersebut janggal. Penyidik kepolisian hanya menetapkan tiga tersangka dalam kasus ini. Mereka adalah Gasing Daeng Kulle,yang berperan sebagai pembuat ijazah, Takdir sebagai kurir, dan Ancjhay Nasir, sebagai Kepala Sekolah, yang memerintahkan Gasing meneken tandatangan dan menuliskan nama Kepala Sekolah lama Sukma Sungkeng.

Sedangkan pengguna dokumen palsu tersebut terkesan dilindungi. Sebab polisi enggan memeriksa pengguna dengan alasan bahwa belum ada vonis dari pengadilan terhadap tiga tersangka tersebut. Padahal, jelas dalam pasal 226 ayat 2 dan pasal 55 KUHP, menjelaskan bahwa seorang yang mengetahui, memerintahkan, dan mebuat dokumen palsu, serta merta ditetapkan sebagai tersangka. Dalam hal ini antara tersangka dan pengguna terjadi komunikasi soal munculnya ijazah tersebut. Dengan penjelasan pasal tersebut, pengguna sudah sepantasnya ditetapkan sebagai tersangka.

Namun harapan penegakan hukum tinggal kenangan. Sungguh menydihkan jika hal ini dikenang. Sudah saatnya aparat penegak hukum berbenah dan melaksanakn undang-undang penuh dengan rasa tanggung jawab. Apalagi saat ini kepolisian gencar melakukan reformasi kinerja kepolisian demi penegakan hukum.

SAHRUL

Comments

Popular posts from this blog

Seharusnya "Kopi" Jadi Simbol Perlawanan

Di sebuah kedai kopi petang itu. Suasana begitu riuh  tatkala pengujung di salah satu deretan meja kedai itu tertawa lepas setelah berujar. Mungkin mereka sedang berbagi pengalaman, entalah: yang pasti mereka sekelompok orang dengan perawakan mapan dan kekinian tampak bahagia dengan segelas kopi. Ada canda, ada tawa, ada pula diskusi, mungkin  juga mereka sedang membicarakan bisnis. Kedai Kopi, kini jadi salah satu pilihan untuk nongkrong-menghabiskan waktu dan uang bahkan tempat para pembual.

Suku Betawi Yang Tersingkir dari Ibu Kota

Jakarta, lebih dekat dengan suku Betawi, karena mereka mengkalim dirinya sebagai suku asli. Sekitar pukul 07 pagi, saya bertemu dengan salah seorang tukang ojek yang mangkal di daerah Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, tidak jauh dari kantor TEMPO. Mansyur, nama tukang ojek ini dan mengaku orang Betawi tulen. Pagi itu, saya ditugaskan untuk meliput acara Menteri Kelautan dan Perikanan, oleh Redaktur Ekonomi dan Bisnis, harian TEMPO. Karena saya baru di Jakarta, tentu saya bingung dimana alamat kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan tersebut.

Kolema, Holiwood Bau-Bau

Jika anda belum pernah melihat langsung Landamark Holliwood di Los Angeles, Amerika Seri, anda tak perlau jauh-jauh ke sana. Sebab, Landamark bergengsi dunia itu, anda bisa temui di Kota Baubau. Tulisan Baubau, yang memanjang di atas Bukit Kolema, benar-benar menyerupai tulisan Holliwood di Los Angeles-Amerika. Bukit Kolema terletak sekitar lima kilo meter arah Timur kota Bauabu dengan ketinggian sekitar  lebih dari  seratisan meter dari permukaan laut. Di puncak bukit itu dibangun pelataran gantung  (taman) dan satu tembok bertuliskan ”Baubau” sepanjang 30 meter dan tinggi 15 meter. Tulisan Baubau, terlihat jelas dari kejauhan, khusnya dilihat ketika anda berada di tengah laut. Dengan letak yang menghadap ke barat seakan menyambut kedatangan anda di kota Baubau yang semerbak Dahulu, taman gantung bukit Kolema hanya dikenal hanya beruap jurang yang curam dan ditumbuhi semak belukar, serta terkenal angker. Di lokasi ini juga sering terjadi kecelakaan yang diduga disebab