Kapolri dinilai Rekayasa Fakta Penembakan
MAKASSAR—Andri Muhammad Sondeng, korban penembakan di wilayah kerja Joint Operating Body (JOB) Medco, kawasan Tiaka, Morowali, Sulawesi Tengah menyatakan, Kepala Kepolisian RI Jenderal Timor Pradopo, telah merekayasa fakta peristiwa penembakan. “Tidak ada penyanderaan anggota polisi. Pernyataan Kapolri tentang adanya aksi penyanderaan kepada polisi adalah jastifikasi sepihak dan itu bohong,” kata Andri, saat ditemui di Rumah Sakit Stela Maris, Rabu (24/8).
Andri adalah salah satu korban yang ditembaki polisi dari delapan korban lainya. Dalam peristiwa ini polisi menembak mati dua orang warga setempat yakni Marten 30 tahun dan Yurifin alias Ateng . Andri , yang juga komandan lapangan dalam aksi itu mengungkapkan, ada dua aparat polisi yang naik dikapal yang ditumpangi massa aksi. Ketika itu, massa secara sponatias membakar genset milik perusahaan tersebut. “Setalah membakar genset kilang minyak itu, kami langsung menyelamatkan diri dari zat berbehaya di tempat yang terbakar tersebut, sekaligus pulang,” kata Andri. “Dua polisi itu juga berusaha menyelamatkan diri denga naik di kapal yang kami tumpangi. Mereka naik sendiri, tidak disandera.”
Menurut mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada (UGM) ini, pimpinan kepolisian setempat (Polda Sulawesi Tengah) dan Kepala Polri RI, membalikkan fakta tersebut. Mereka membuat pernyataan di publik bahwa dua polisi yang menumpang di kapal pengunjukrasa ini telah disandera dan dirampas senjatanya oleh pendemo (Mahasiswa dan Warga). “Fakta inilah yang dikaburkan oleh polisi. Padahal polisi yang menumpang dikapal kami aman-aman saja,” ujar pria 25 tahun ini.
Dia menyebut Kepala Devisi Humas Polda Sulawesi Tengah dan Kepala Polri RI, telah membohongi rakyat dengan mengeluarkan pernyataan bahwa mahasiswa dan warga menyadera dan merampas senjata polisi. Fakta yang sebenarnya, dia menjelaskan adalah ada empat kapal kecil yang ditumpangi warga dan mahasiswa. Namun kapal yang ditumpang Andri dan 22 kawannya kehabisan minyak ditengah laut. Namun tiba-tiba datang polisi juga menggunakan kapal langsung menembaki massa dalam jarak dekat. “Saya orang pertama yang terkena tembakan. Pada tembakan kedua saya terlempar dan peluru bersarang dibagian dada,” ujarnya.
Saat berada di atas kapal, polisi tersebut menelanjangi massa. Merasa tidak terima dengan perlakuan polisi, massa melakukan perlawanan. Polisi semakin membabi buta ketika mendapat perlawanan. Aparat brutal ini langsung menembaki warga yang menyebabkan Marten dan Yurifin, tewas. Sedangkan enam orang lainya luka parah karena tembakan. “Saat itu saya pura-pura mati agar tidak dtembak lagi, dan inilah fakta sebenarnya,” dia menuturkan.
Padahal sebelum penembakan itu, polisi yang naik diatas kapal itu menyatakan bahwa menjamin keselamatan massa dengan menyerahkan senjata sampai dengan di darat. “Ini senjata kami, kami lettakan dan kami tidak akan menyandera anda,” ucap Andri, menirukan ucapan polisi tersebut, salah satunya Kapolsek di wilayak Kecamatan Sijaya. “Namun ternyata pernyataan itu, beda dengan faktanya. Mereka hanya ber spekulasi.”
Kasus ini akan dilaporkan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Sebab aksi brutal polisi masuk kategori pembantaian terhadap aktifis mahasiswa dan warga. Pihak keluarga korban juga meminta Kepala Polri dan Kapolda setempat bertanggung jawab terhadap insiden ini. Mereka menganggap, tindakan ini merupakan pelanggaran HAM berat yang harus dipertanggung jawabkan oleh polisi.
Kasus ni berawal ketika mahasiswa dan warga Desa Kolo Bawa, Kecamatan Mamosalato, menyikapi dugaan penyelewengan pajak pemasukan analisis dampak lingkungan di perusahaan tersebut. Dana yang dimaksud adalah dana wajib perusahaan yakni Corporate Social Responsibilty (CSR) untuk pemberdayaan masyarakat. Namun sejak tahun berdirnya perusahaan itu Medco Group 1968. Namun kontrak bantuan CSR ini baru diepakati pada tahun 1997 oleh warga dan pihak perusahaan. Luas wilayah lepas pantai yang dikuasai oleh Medco adalah 451 kilometer persegi.
Orang tua Andri, Sulaeman Sondeng 48 tahun mengatakan, sejak tahun disepakatinya bantuan CSR ini, pihak perusahaan tidak pernah merealisasikan kesepakatan tersebut. Hal memicu kemarahan warga dan mahasiswa dengan berbagai macam kritikan. “Lokasi kilang minya ini memang masuk sengketa sejak lama, diperparah dengan tidak adanya realisasi bantuan CSR kepada warga,” ujar Sulaeman.
Sulaeman menjelaskan, warga dan mahasiswa memutuskan untuk menemui direksi peusahaan yakni Hilmi Panigoro, sebagi Komisaris Utama. Namun sampai hari ketiga bos perusahaan minyak ini tidak juga menemui massa. “Warga dan Mahasiswa memutuskan untuk memadamkan lampu diwilayah perairan karena inilah induk bergeraknya perusahaan tersebut,” katanya.
Kepala Kepolisian RI Jenderal Timor Pradopo mengatakan, dalam peristiwa ini ada proses pelanggaran hukum, artinya ada penyenderaan anggota polisi kepada masyarakat. Tindakan seperti ini tentunya sebagai petugas polisi, sebagai penegak hukum , aparat berkewajiban mengabil langkah –langkah demi penegakan hukum. ”Kapolres bersama anggotanya kan disandera, senjatanya dirampas selama kurang lebih 6 jam,” kata Kapolri, usai membawakan sambutan saat melakukan kunjungan kerja di Makassar, Rabu 24 Agustus di Manunggal Muhammad Yusuf.
Pada penyanderaan tersebut, dia menjelaskan, datang bantuan polisi sebanyak satu kapal untuk membebaskan anggota yang disandera. Namun pada saat bantaun itu datang tentu ada proses yang yang harus dilakukan polisi. Proses itulah yang menyebabkan terjadinya penembakan karena ada perlawanan dari massa yang menyebabkan dua orang meningal dunia. “Kalau memang anggotaku melanggar HAM, ada langkah yang akan dilakukan oleh devisi pengamanan untuk memproses anggota bersangkutan. Komnas HAM juga sudah melakukan langkah-langkah,” katanya.
Dia menyatakan, ada beberapa anggota yang diduga melanggar hukum sedang diproses di Polda Sulawesi Tengah. Jika hasilnya ternyata terbukti melanggar HAM, polisi tersebut akan diberi sanksi tegas sesuai dengan tingkat pelanggarannya. “Begiu juga masyarakat yang terlibat dalam peristiwa itu,” ujarnya.
Andri, saat ini dirawat di Ruamah Sakit Stelamaris, Makassar. Dia tiba di Makassar, Rabu sore, langsung ke rumah sakit yang dituju. Sedangkan korban lainya, Sulaeman menambahkan, sekitar pagi hari, usai peristiwa penembakan itu, para korban dilarikan di Rumah Sakit Luwu. Tapi, saat itu yang menjaga mereka pulang di rumahnya untuk makan sahur, para korban itu diculik oleh anggota Polda d Rumah Sakit tempat mereka di rawat. “Jadi, korban tersebut ditahan di Polda, dan yang lebih parahnya di sana tidak ada tindakan medis. Mereka dibiarkan saja begitu,” kata Sulaeman.
SAHRUL
MAKASSAR—Andri Muhammad Sondeng, korban penembakan di wilayah kerja Joint Operating Body (JOB) Medco, kawasan Tiaka, Morowali, Sulawesi Tengah menyatakan, Kepala Kepolisian RI Jenderal Timor Pradopo, telah merekayasa fakta peristiwa penembakan. “Tidak ada penyanderaan anggota polisi. Pernyataan Kapolri tentang adanya aksi penyanderaan kepada polisi adalah jastifikasi sepihak dan itu bohong,” kata Andri, saat ditemui di Rumah Sakit Stela Maris, Rabu (24/8).
Andri adalah salah satu korban yang ditembaki polisi dari delapan korban lainya. Dalam peristiwa ini polisi menembak mati dua orang warga setempat yakni Marten 30 tahun dan Yurifin alias Ateng . Andri , yang juga komandan lapangan dalam aksi itu mengungkapkan, ada dua aparat polisi yang naik dikapal yang ditumpangi massa aksi. Ketika itu, massa secara sponatias membakar genset milik perusahaan tersebut. “Setalah membakar genset kilang minyak itu, kami langsung menyelamatkan diri dari zat berbehaya di tempat yang terbakar tersebut, sekaligus pulang,” kata Andri. “Dua polisi itu juga berusaha menyelamatkan diri denga naik di kapal yang kami tumpangi. Mereka naik sendiri, tidak disandera.”
Menurut mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada (UGM) ini, pimpinan kepolisian setempat (Polda Sulawesi Tengah) dan Kepala Polri RI, membalikkan fakta tersebut. Mereka membuat pernyataan di publik bahwa dua polisi yang menumpang di kapal pengunjukrasa ini telah disandera dan dirampas senjatanya oleh pendemo (Mahasiswa dan Warga). “Fakta inilah yang dikaburkan oleh polisi. Padahal polisi yang menumpang dikapal kami aman-aman saja,” ujar pria 25 tahun ini.
Dia menyebut Kepala Devisi Humas Polda Sulawesi Tengah dan Kepala Polri RI, telah membohongi rakyat dengan mengeluarkan pernyataan bahwa mahasiswa dan warga menyadera dan merampas senjata polisi. Fakta yang sebenarnya, dia menjelaskan adalah ada empat kapal kecil yang ditumpangi warga dan mahasiswa. Namun kapal yang ditumpang Andri dan 22 kawannya kehabisan minyak ditengah laut. Namun tiba-tiba datang polisi juga menggunakan kapal langsung menembaki massa dalam jarak dekat. “Saya orang pertama yang terkena tembakan. Pada tembakan kedua saya terlempar dan peluru bersarang dibagian dada,” ujarnya.
Saat berada di atas kapal, polisi tersebut menelanjangi massa. Merasa tidak terima dengan perlakuan polisi, massa melakukan perlawanan. Polisi semakin membabi buta ketika mendapat perlawanan. Aparat brutal ini langsung menembaki warga yang menyebabkan Marten dan Yurifin, tewas. Sedangkan enam orang lainya luka parah karena tembakan. “Saat itu saya pura-pura mati agar tidak dtembak lagi, dan inilah fakta sebenarnya,” dia menuturkan.
Padahal sebelum penembakan itu, polisi yang naik diatas kapal itu menyatakan bahwa menjamin keselamatan massa dengan menyerahkan senjata sampai dengan di darat. “Ini senjata kami, kami lettakan dan kami tidak akan menyandera anda,” ucap Andri, menirukan ucapan polisi tersebut, salah satunya Kapolsek di wilayak Kecamatan Sijaya. “Namun ternyata pernyataan itu, beda dengan faktanya. Mereka hanya ber spekulasi.”
Kasus ini akan dilaporkan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Sebab aksi brutal polisi masuk kategori pembantaian terhadap aktifis mahasiswa dan warga. Pihak keluarga korban juga meminta Kepala Polri dan Kapolda setempat bertanggung jawab terhadap insiden ini. Mereka menganggap, tindakan ini merupakan pelanggaran HAM berat yang harus dipertanggung jawabkan oleh polisi.
Kasus ni berawal ketika mahasiswa dan warga Desa Kolo Bawa, Kecamatan Mamosalato, menyikapi dugaan penyelewengan pajak pemasukan analisis dampak lingkungan di perusahaan tersebut. Dana yang dimaksud adalah dana wajib perusahaan yakni Corporate Social Responsibilty (CSR) untuk pemberdayaan masyarakat. Namun sejak tahun berdirnya perusahaan itu Medco Group 1968. Namun kontrak bantuan CSR ini baru diepakati pada tahun 1997 oleh warga dan pihak perusahaan. Luas wilayah lepas pantai yang dikuasai oleh Medco adalah 451 kilometer persegi.
Orang tua Andri, Sulaeman Sondeng 48 tahun mengatakan, sejak tahun disepakatinya bantuan CSR ini, pihak perusahaan tidak pernah merealisasikan kesepakatan tersebut. Hal memicu kemarahan warga dan mahasiswa dengan berbagai macam kritikan. “Lokasi kilang minya ini memang masuk sengketa sejak lama, diperparah dengan tidak adanya realisasi bantuan CSR kepada warga,” ujar Sulaeman.
Sulaeman menjelaskan, warga dan mahasiswa memutuskan untuk menemui direksi peusahaan yakni Hilmi Panigoro, sebagi Komisaris Utama. Namun sampai hari ketiga bos perusahaan minyak ini tidak juga menemui massa. “Warga dan Mahasiswa memutuskan untuk memadamkan lampu diwilayah perairan karena inilah induk bergeraknya perusahaan tersebut,” katanya.
Kepala Kepolisian RI Jenderal Timor Pradopo mengatakan, dalam peristiwa ini ada proses pelanggaran hukum, artinya ada penyenderaan anggota polisi kepada masyarakat. Tindakan seperti ini tentunya sebagai petugas polisi, sebagai penegak hukum , aparat berkewajiban mengabil langkah –langkah demi penegakan hukum. ”Kapolres bersama anggotanya kan disandera, senjatanya dirampas selama kurang lebih 6 jam,” kata Kapolri, usai membawakan sambutan saat melakukan kunjungan kerja di Makassar, Rabu 24 Agustus di Manunggal Muhammad Yusuf.
Pada penyanderaan tersebut, dia menjelaskan, datang bantuan polisi sebanyak satu kapal untuk membebaskan anggota yang disandera. Namun pada saat bantaun itu datang tentu ada proses yang yang harus dilakukan polisi. Proses itulah yang menyebabkan terjadinya penembakan karena ada perlawanan dari massa yang menyebabkan dua orang meningal dunia. “Kalau memang anggotaku melanggar HAM, ada langkah yang akan dilakukan oleh devisi pengamanan untuk memproses anggota bersangkutan. Komnas HAM juga sudah melakukan langkah-langkah,” katanya.
Dia menyatakan, ada beberapa anggota yang diduga melanggar hukum sedang diproses di Polda Sulawesi Tengah. Jika hasilnya ternyata terbukti melanggar HAM, polisi tersebut akan diberi sanksi tegas sesuai dengan tingkat pelanggarannya. “Begiu juga masyarakat yang terlibat dalam peristiwa itu,” ujarnya.
Andri, saat ini dirawat di Ruamah Sakit Stelamaris, Makassar. Dia tiba di Makassar, Rabu sore, langsung ke rumah sakit yang dituju. Sedangkan korban lainya, Sulaeman menambahkan, sekitar pagi hari, usai peristiwa penembakan itu, para korban dilarikan di Rumah Sakit Luwu. Tapi, saat itu yang menjaga mereka pulang di rumahnya untuk makan sahur, para korban itu diculik oleh anggota Polda d Rumah Sakit tempat mereka di rawat. “Jadi, korban tersebut ditahan di Polda, dan yang lebih parahnya di sana tidak ada tindakan medis. Mereka dibiarkan saja begitu,” kata Sulaeman.
SAHRUL
Comments